كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Blog ini saya buat sebagai counter attack atas propaganda murahan atas pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran islam oleh sekte-sekte sempalan seperti wahabi syiah dll dan untuk kelestarian aswaja di belahan bumi manapun Terimakasih atas kunjungannya semogga isi dari blog saya ini dapat bermanfaat untuk mempererat ukhwuah islamiyah atar aswaja dan jangan lupa kembali lagi yah

Rabu, 23 Mei 2012

Adab-Adab Istri dalam pernikahan dan memilih jodoh


Adab-Adab Istri dalam pernikahan dan memilih jodoh.
Istri yg kamu nikahi
Tidaklah semulia Siti Khodijah
Tidaklah setaqwa Siti A'isyah
Tidakpun setabah Siti Fatimah
Dan tidakpun secantik Siti Maryam
Lahir maupun bathinya.

Istrimu hanyalah wanita akhir dzaman
Yg punya cita-cita menjadi wanita sholihah.

Suami yg kamu nikahi
Tidaklah semulia Nabi Muhammad SAW
Tidaklah setaqwa Nabi Ibrohim As.
Tidakpun setabah Nabi Ayub As.
Tidaklah setampan lahir batinnya
Nabi Yusuf As.
Dan tidaklah sekaya Nabi Sulaiman As tapi dzuhud dan tetap taqwa.

Suamimu hanyalah pria akhir dzaman
Yg punya cita-cita membangun keturunan sholih.

Pernikahan mengajarkan kewajiban kita bersama
Istri menjadi tanah dan suami langit penenangnya
Istri ladang tanaman suami pemagarnya
Seandaynya istri tulang yg bengkuk
Suami hati-hatilah untuk meluruskannya

Suami adalah nahkoda istri navigatnya
Seandaynya suami salah dan khilaf
Bersabarnya untuk memperingatinya

Tujuan Pernikahan
1. Melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul.
2. Melanjutkan generasi muslim sebagai pengemban risalah Islam.
3. Mewujudkan keluarga Muslim menuju masyarakat Muslim.
4. Mendapatkan cinta dan kasih sayang.
5. Ketenangan Jiwa dengan memelihara kehormatan diri (menghindarkan diri dari perbuatan maksiat / perilaku hina lainnya).
6. Agar kaya (sebaik-baik kekayaan adalah isteri yang shalihat).
7. Meluaskan kekerabatan (menyambung tali silaturahmi / menguatkan ikatan kekeluargaan)

Kesiapan Pribadi
Kondisi Qalb yang sudah mantap dan makin bertambah yakin setelah istikharah. Rasulullah SAW. bersabda : Man Jadda Wa Jadda¨ (Siapa yang bersungguh-sungguh pasti ia akan berhasil melewati rintangan itu).

Termasuk wajib nikah (sulit untuk shaum).

Termasuk tathhir (mensucikan diri).

Secara materi, Insya Allah siap. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya¡¨ (Qs. At Thalaq (65) : 7)

Akibat Menunda atau Mempersulit Pernikahan

Kerusakan dan kehancuran moral akibat pacaran dan free sex. Tertunda lahirnya generasi penerus risalah. Tidak tenangnya Ruhani dan perasaan, karena Allah baru memberi ketenangan dan kasih sayang bagi orang yang menikah. Menanggung dosa di akhirat kelak, karena tidak dikerjakannya kewajiban menikah saat syarat yang Allah dan RasulNya tetapkan terpenuhi. Apalagi sampai bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya, karena yang menjadi pihak ketiganya adalah syaitan." (HR. Ahmad) dan "Sungguh kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik, daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" (HR. Thabrani dan Baihaqi).. Astaghfirullahaladzim.. Na'udzubillahi min dzalik

Namun, umumnya yang terjadi di masyarakat di seputar pernikahan adalah sebagai berikut ini :

Status yang mulia bukan lagi yang taqwa, melainkan gelar yang disandang:Ir, DR, SE, SH, ST, dsb

Pesta pernikahan yang wah / mahar yang tinggi, sebab merupakan kebanggaan tersendiri, bukan di selenggarakan penuh ketawadhu'an sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. (Pernikahan hendaklah dilandasi semata-mata hanya mencari ridha Allah dan RasulNya. Bukan di campuri dengan harapan ridha dari manusia (sanjungan, tidak enak kata orang). Saya yakin sekali.. bila Allah ridha pada apa yang kita kerjakan, maka kita akan selamat di dunia dan di akhirat kelak.)

Pernikahan dianggap penghalang untuk menyenangkan orang tua. Masyarakat menganggap pernikahan akan merepotkan Studi, padahal justru dengan menikah penglihatan lebih terjaga dari hal-hal yang haram, dan semakin semangat menyelesaikan kuliah.

Memperbaiki Niat

Innamal a'malu binniyat....... Niat adalah kebangkitan jiwa dan kecenderungan pada apa-apa yang muncul padanya berupa tujuan yang dituntut yang penting baginya, baik secara segera maupun ditangguhkan.

Niat Ketika Memilih Pendamping

Rasulullah bersabda "Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya."(HR. Thabrani).

"Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama". (HR. Ibnu Majah).

Nabi Muhammad SAW. bersabda : Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab (akibatnya) dapat melahirkan anak yang lemah (baik akal dan fisiknya) (Al Hadits).

Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama." (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Niat dalam Proses Pernikahan

Masalah niat tak berhenti sampai memilih pendamping. Niat masih terus menyertai berbagai urusan yang berkenaan dengan terjadinya pernikahan. Mulai dari memberi mahar, menebar undangan walimah, menyelenggarakan walimah. Walimah lebih dari dua hari lebih dekat pada mudharat, sedang walimah hari ketiga termasuk riya'. "Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan."(Qs. An Nisaa (4) : 4).

Rasulullah SAW bersabda : "Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya" (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih).

Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW. telah bersabda, "Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang sederhana belanjanya (maharnya)" (HR. Ahmad). Nabi SAW pernah berjanji : "Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya." (HR. Ashhabus Sunan). Dari Anas, dia berkata : " Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya" (Ditakhrij dari An Nasa'i)..Subhanallah..

Proses pernikahan mempengaruhi niat. Proses pernikahan yang sederhana dan mudah insya Allah akan mendekatkan kepada bersihnya niat, memudahkan proses pernikahan bisa menjernihkan niat. Sedangkan mempersulit proses pernikahan akan mengkotori niat. "Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing." (HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan haruslah memenuhi kriteria Lillah, Billah, dan Ilallah. Yang dimaksud Lillah, ialah niat nikah itu harus karena Allah. Proses dan caranya harus Billah, sesuai dengan ketentuan dari Allah.. Termasuk didalamnya dalam pemilihan calon, dan proses menuju jenjang pernikahan (bersih dari pacaran / nafsu atau tidak). Terakhir Ilallah, tujuannya dalam rangka menggapai keridhoan Allah.

Sehingga dalam penyelenggaraan nikah tidak bermaksiat pada Allah ; misalnya : adanya pemisahan antara tamu lelaki dan wanita, tidak berlebih-lebihan, tidak makan sambil berdiri (adab makanan dimasyarakat biasanya standing party-ini yang harus di hindari, padahal tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang demikian), Pengantin tidak disandingkan, adab mendo'akan pengantin dengan do'a : Barokallahu laka wa baroka 'alaikum wa jama'a baynakuma fii khoir.. (Semoga Allah membarakahi kalian dan melimpahkan barakah kepada kalian), tidak bersalaman dengan lawan jenis, Tidak berhias secara berlebihan ("Dan janganlah bertabarruj (berhias) seperti tabarrujnya jahiliyah yang pertama" - Qs. Al Ahzab (33)

Meraih Pernikahan Ruhani

Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Allah, maka ia akan berusaha mencari seseorang yang sama dengannya. Secara psikologis, seseorang akan merasa tenang dan tentram jika berdampingan dengan orang yang sama dengannya, baik dalam perasaan, pandangan hidup dan lain sebagainya. Karena itu, berbahagialah seseorang yang dapat merasakan cinta Allah dari pasangan hidupnya, yakni orang yang dalam hatinya Allah hadir secara penuh. Mereka saling mencintai bukan atas nama diri mereka, melainkan atas nama Allah dan untuk Allah.

Betapa indahnya pertemuan dua insan yang saling mencintai dan merindukan Allah. Pernikahan mereka bukanlah semata-mata pertemuan dua insan yang berlainan jenis, melainkan pertemuan dua ruhani yang sedang meniti perjalanan menuju Allah, kekasih yang mereka cintai. Itulah yang dimaksud dengan pernikahan ruhani
.
Adab Perempuan kita ada yang melamar, lihatlah iman.

تأمر من تأمن به من أهلها إن كان صدوقا أن يسأل عن مذهب الخاطب ودينه واعتقاده ومروءته في نفسه وصدقه في وعده، وتنظر من أقرباؤه، ومن يغشاه في بيته، وعن مواظبته على صلواته وجماعته، ونصيحته في تجارته وصنعته، ويكون رغبتها في دينه دون ماله، أو في سيرته دون شهرته، تعزم معه على القناعة وتكون لأوامره مطيعة، فهو آكد للألفة، وأثبت للمودة

Adab perempuan ketika ada laki-laki yang melamarnya.
Seorang wanita yang hendak dilamar ,seyogyanya meminta kepada orang kepercayaan keluarganya untuk menanyakan tentang mazhab si pelamar ,agama ,keyakinanan ,kehati-hatianya, dan kejujurannya dalam menepati janji .Menanyakannya itu kepada kerabat laki-laki tersebut dan kepada orang yang mendatangi rumahnya , tentang ketekunannya dalam melaksanakan sholat, sholat berjama'ahnya,dan ketulusannya di dalam perilaku dan perbuatannya.
Kecintaanya kepada seorang laki-laki harus karena faktor agamanya dan bukan karena hartanya ,atau harus karena tingkah lakunya dan bukan karena popularitasnya .Berniat menikahinya atas dasar qona'ah dan untuk mentaati perintah-perintah suaminya.
Itulah yang akan mengokohkan persahabatan dan meneguhkan kecintaan.

Kitab Maju'atur Rosail Al-Imam Ghozali sub.kitab Adabu fiddin karangan Al-Imam Ghozali hal. 441.

Adab Perempuan kita ada yang melamar, lihatlah iman.

تأمر من تأمن به من أهلها إن كان صدوقا أن يسأل عن مذهب الخاطب ودينه واعتقاده ومروءته في نفسه وصدقه في وعده، وتنظر من أقرباؤه، ومن يغشاه في بيته، وعن مواظبته على صلواته وجماعته، ونصيحته في تجارته وصنعته، ويكون رغبتها في دينه دون ماله، أو في سيرته دون شهرته، تعزم معه على القناعة وتكون لأوامره مطيعة، فهو آكد للألفة، وأثبت للمودة

Adab perempuan ketika ada laki-laki yang melamarnya.
Seorang wanita yang hendak dilamar ,seyogyanya meminta kepada orang kepercayaan keluarganya untuk menanyakan tentang mazhab si pelamar ,agama ,keyakinanan ,kehati-hatianya, dan kejujurannya dalam menepati janji .Menanyakannya itu kepada kerabat laki-laki tersebut dan kepada orang yang mendatangi rumahnya , tentang ketekunannya dalam melaksanakan sholat, sholat berjama'ahnya,dan ketulusannya di dalam perilaku dan perbuatannya.
Kecintaanya kepada seorang laki-laki harus karena faktor agamanya dan bukan karena hartanya ,atau harus karena tingkah lakunya dan bukan karena popularitasnya .Berniat menikahinya atas dasar qona'ah dan untuk mentaati perintah-perintah suaminya.
Itulah yang akan mengokohkan persahabatan dan meneguhkan kecintaan.

Kitab Maju'atur Rosail Al-Imam Ghozali sub.kitab Adabu fiddin karangan Al-Imam Ghozali hal. 441.


Istighfar taubatan nasyuha


أعوذ بالله من الشيطان الرجيــم
بســـــــــــم الله الرحم الرحيــم

اللهم انت ربي لااله الا انت خلقتني واناعبدك واناعل عهدك و وعدك مااستطعت اعودبك من شرماصنعت وابوءبدنبي فانه لايفرالدنوب
الا انت

Allahumma Anta Robbii laa ilaaha illaa anta kholaqtanii wa anaa 'abduka wa anaa 'alaa 'ahdika wa wa'dika matatho'atu a'uudzubika min syarrimaa shona'tu wa abuu-u bidzanbii faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba ilaa anta.

Wahai Tuhanku, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Engkau yg telah. menjadikan aku dan aku adalah hambaMu dan aku adalah atas ketentuanMu dan janjiMu semampu mungkin aku kerjakan.
aku berlindung kepadaMu dari segala kejahatan yg telah Engkau jadikan, aku mengakui ni'matMu yg telah Engkau berikan kepadaku, dan aku mengakui dosaku maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yg dapat mengampuni dosa2 selain hanya Engkau.....

Istighfar taubatan nasyuha, bacalah setiap makhtubah/setiap ba'da sholat fardlu 11x.
اشتغفر اللّه العظيم الّذي لا إله إلاّ هو الحيّ القيّوم وأتوب إليـه • توبةعبدظالم لايملك لنفسه ضراو لانفعاو لاموتاو لاحياةو لانشروا

ini tex lathin untuk hp yg tidak mendukung ketikan 'arob......

Astaghfirullaahal 'azhim, Alladzii laaa ilaaha illaa huwal hayyul qoiyuumu wa atuubu ilaih, taubata 'abdin dlolimiin layamliku linafsihi dhorrow walaa naf'an wallaa mautan wallaa khayatan wallaa nusyuur.

Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, Dzat yg tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri. aku bertaubat kepadaNya selaku taubatnya seorang hamba yg dlolim, yg tidak mempunyai daya upaya terhadap untuk berbuat madlorot, manfa'at untuk mati dan hidup dan serta pula untuk bangkit kembali.

Saat mizan, Engkau mengancam para pendosa
Janji-Mu, Berupa ampunan tiada banding

Engkau tegas, Maha kuat dan keras
Namun Engkau juga penuh kebaikan, Pemberi karunia dan lembut

Kami dibebani kesalahan, Dan tutu-Mu menghalangi
Tiada sesuatu yg terbuka saat Engkau menutupnya
Bila kami tergelincir dlm kesalahan dan Engkau tdk mengampuni

Maka siapakah yg tergelincir dan siapakah yg bisa mengampuni........


AMPUNAN ALLAH lebih besar dari dosa.

Saat hatiku mengeras dan jalanku sempit
Aku menaruh harapanku pada ampunan-Mu

Dosaku menggunung, Namun saat kubandingkan
Dengan ampunan-Mu, Maka ampunan-Mu lebih besar.

ALLAH Mengampuni dosa besar.

Ya Allah, Tdk layak aku memasuki surga firdaus
Namun aku tak kuat dineraka jahanam
Karuniakan thobat bagiku Dan ampunan dosaku

Karena Engkau adalah pengampun dosa besar.

Sebagaimana 'Ulama berkata.
Ada dua langkah yg telah kuraih.
Pertama. beribadah kepada Allah dgn tauhid, yakni mengahadap kepada Allah dgn total meliputi pencarian, kerinduan dan kecintaan.

kedua. keluar dari segala sesuatu selain Allah dgn total meliputi kebenaran dan puncak kesungguhan supaya dapat meraih apa yh telah diraih oleh orang yg berkata/mengucapkan dgn kalimah thoyibah kepada TuhanNya(Allah).
keseluruhanku disibukkan dlm keseluruhanMu.
dan Allah menjawab, keseluruhanKu dikerahkan untuk keseluruhanmu. Makna Marifatulloh.

Nasihat Imam Asy-Syafi'I Rohimalloh :

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا
فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى
وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yg mempelajari ilmu fiqih & juga menjalani tasawwuf, & janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yag hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawwuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan taqwa.
Sedangkan orang yg hanya menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik.
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

واللــــــــه أعلــم بالصـــــــــــــــــواب

sayang bait dari diwan ini telah dihilangkan oleh wahabi dalam kitab diwan syafi'i yg dicetak oleh percetakan wahabi, sungguh jahat para perampok aqidah. Na'udzu Billahi min dzalik.....

Berikut adalah pendapat para ulama terdahulu yang sholeh tentang tasawwuf.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata :

أصول طريق التصوف خمسة: تقوى الله في السر والعلانية. اتباع السنة في الأقوال والأفعال. الإِعراض عن الخلق في الإِقبال والإِدبار. الرضى عن الله في القليل والكثير.الرجوع إِلى الله في السراء والضراء.

Pokok pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridlo kepada Allah dari pemberianNya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka.

(Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)


Dzikir bersama itu bid'ah atau sunnah


Menyangkut bid'ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafy Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadits Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam yg sering mereka kemukakan, yaitu:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)

"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim).

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)

"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i)


أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).

Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafy Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadits.

Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.

Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul/pokok) dan yang tidak prinsip (furu'/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari'at atau menetapkan syari'at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.

Kaum Salafy Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta'wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari'at, seperti halnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur'an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafy Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama" dipandang oleh kaum Salafy Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.

Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”

Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”

Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AHadalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yangHALAL dan yang HARAM? LUCU kan sobat ?!

Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.

KITAB-KITAB YG MEMBAHAS KHUSUS BID’AH
1. AL-I’THISHOM
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Gharnathi

ابتدأ طريقة لم يسبقه إليها سابق

فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu.
Kitab Al-‘Itisham, I/36

Sedangkan menurut istilah, bid’ah berarti cara baru dalam agama, yg belum ada contoh sebelumnya
yg menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan & berlebihan dalam beribadah kepada الله سبحانه وتعال .
Kitab Al-‘Itisham, I/37

Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:

قال الإمام الشافعي- رحمه الله -: ((البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم)) واحتج بقول عمر في قيام رمضان:

“نعمت البدعة هذه” رواه أبو نعيم في”حلية الأولياء” (9/113

1. Perkara baru yg bertentangan dgn Al-Kitab & As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.

2. Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela. Inilah yg dimaksud dgn perkataan Imam Syafi’i yg membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah terpuji & bid’ah mazmumah tercela/buruk.
Bidah yg sesuai dgn sunnah adalah terpuji & baik, sedangkan yg bertentangan dgn sunnah ialah tercela & buruk”.
Hilyah al-Auliya’, 9/113, & Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15.

Ini kelengkapan kalimatnya:

حدثنا ابوبكر الاجرى ثنا عبد الله بن محمد العطش ثنا ابراهيم بن الجنيد ثنا حرملة بن يحيى قال سمعت محمد بن ادريس الشافعى يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وفق السنة فهو محمودة، وما خالف السنة فهو مذمومة. واحتج يقول عمروبن الخطاب فى قيام رمضان: نعمة البدعة هي. جز: 9 ص: 113

[حلية الاولياء وطبقات الاصفياء للحافظ أبى نعيم احمد بن عبدالله الاصفهانى]


وفي الحد ايضا معنى آخر مما ينظر فيه وهو ان البدعة من حيث قيل فيها انها طريقة في الدين مخترعة إلى آخره يدخل في عموم لفظها البدعة التركية كما يدخل فيه البدعة غير التركية فقد يقع الابتداع بنفس الترك تحريما للمتروك أو غير تحريم فان الفعل مثلا قد يكون حلالا بالشرع فيحرمه الانسان على نفسه أو يقصد تركه قصدا

فبهذا الترك اما ان يكون لأمر يعتبر مثله شرعا اولا فان كان لأمر يعتبر فلا حرج فيه اذ معناه انه ترك ما يجوز تركه أو ما يطلب بتركه كالذي يحرم على نفسه الطعام الفلاني من جهة أنه يضره في جسمه أو عقله أو دينه وما اشبه ذلك فلا مانع هنا من الترك بل ان قلنا بطلب التداوي للمريض فان الترك هنا مطلوب وان قلنا باباحة التداوي فالترك مباح

Batasan Arti Bid'ah

Dalam pembatasan arti bid'ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama.
yaitu: bid'ah sesuai dgn pengertian yg telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yg baru diciptakan (dibuat-buat) & seterusnya. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid'ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama),
demikian halnya dengan bid'ah yg bukan tarkiyyah. Hal-hal yg dianggap bid'ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid'ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan misalnya menjadi halal karena ketentuan syar'i, namun ada juga manusia yg mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.

Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dgn meninggalkan perkara yg dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yg diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah.
Kitab Al-‘Itisham, I/42]

ITQON ASH-SHUN’AH FI TAHQIQ MA’NA AL-BID’AH
Sayyid Al-'Allamah Abdullah bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini..
قال النووي: قوله صلى الله عليه وسلم: "وكل بدعة ضلالة" هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع، قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل غير مثال سابق. قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرّمة ومكروهة والمباح

في حديث العرباض بن سارية، قول النبي صلى الله عليه وسلم: "وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة" رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجه، وصححه الترمذي وابن حبان والحاكم.

قال الحافظ بن رجب في شرحه: "والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعه يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا، وإن كان بدعة لغة" اهـ.

Imam Nawawi berkata:
Sabda Nabi Muhammad SAW
Setiap bid’ah itu sesat ini adalah umum yg dikhususkan & maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yg tdk ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara-perkara baru, maka setiap bid’ah adalah sesat.
HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim

Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dlm penjelasannya: Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yg baru yg tdk ada asalnya [contohnya] dlm syari’at yg menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yg ada asalnya dlm syari’at yg menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.

وفي صحيح البخاري عن ابن مسعود قال: "إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدى هدى محمد صلّى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها".

قال الحافظ بن حجر والمحدثات بفتح الدال جمع محدثه، والمراد بها ما أحدث وما ليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة، وما كان له أصل يدل عليه الشرع، فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث على غير مثال، يسمى بدعة سواء كان محمودا او مذموما اهـ.

Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Mas’ud berkata. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabulloh AlQur’an & sebaik2 petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW , & sejelek2nya perkara adalah yg baru dlm agama-pent.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata.
Lafadz muhdatsat dgn di fathah huruf dal-nya” kata jama’ plural dari Muhdatsah, maksudnya sesuatu yg baru yg tdk ada asal dasarnya dlm syari’at.
Dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah.
Dan sesuatu yg memiliki asal landasan yg menunjukkan atasnya maka tdk termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dgn pemahaman secara bahasa.
Maka jika ada perkara baru yg tdk ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yg mahmudah maupun yg madzmumah.

وروى أبو نعيم عن ابراهيم بن الجنيد، قال: سمعت الشافعي يقول: البدعة بدعتان بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم.

وروى البيهقي في مناقب الشافعي عنه، قال: المحدثات ضربان: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنةً أو أثرا أو إجماعا، فهذه بدعة الضلالة.

وما أحدث من الخير لا خلاف فيه في واحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر في قيام رمضان: نعمة البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن، وإذا كانت، ليس فيها رد لما مضى.

Diriwayatkan Abu Na’im dari Ibrahim bin Al-Janid berkata: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah & bid’ah madzmumah. Maka perkara baru yg sesuai sunnah, maka itu bid’ah terpuji. Dan perkara baru yg berlawanan dgn sunnah itu...bid’ah..tercela.”

Al-Baihaqi meriwayatkan dlm Manaqib Syafi’i biografi Syafi’i....Imam Syafi’i berkata:
Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yg bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.

Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dgn Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar Sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela.
Dan Umar bin Khathab ra. berkata tentang qiyamu Romadhon sholat tarawih.
Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yg tdk ada sebelumnya, & ketika ada itu bukan berarti menolak apa yg sdh berlalu.

والمراد بقوله: "كل بدعة ضلالة" ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام اهـ.

وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات: البدعة بكسر الباء، في الشرع، هي إحداث ما لم يكن في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة.

قال الامام الشافعي: "كل ما له مستند من الشرع، فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به" اهـ.

Dan yg dimaksud dgn sabda Rosul,
Setiap bid’ah adalah sesat,” adalah sesuatu yg baru dlm agama yg tdk ada dalil syar’i [al-Qur’an dan al-Hadits secara khusus maupun secara umum.

Imam Nawawi berkata dlm At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat “Al-Bid’ah” itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam pemahaman agama yaitu perkara baru yg tdk ada dimasa Nabi Muhammad SAW , & dia terbagi menjadi dua baik & buruk.

Imam Syafi'i berkata.
Setiap sesuatu yg mempunyai dasar dari dalil2 syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun blm pernah dilakukan oleh salaf.
Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yg terjadi saat itu (belum dibutuhkan -pent) atau karena ada amaliah lain yg lebih utama, & atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-pent.



Allah Berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

(QS 33 : 41)
Hai orang2 yg beriman, berdzikirlah dgn menyebut nama. Allah , dzikir yg sebanyak-banyaknya.

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

(QS 4 : 103)
Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk & di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yg ditentukan waktunya atas orang2 yg beriman.


والله أعلم بالصواب

DEDE MAU DZIKIR, WAHHABI JGN GANGGU


DEDE MAU DZIKIR, WAHHABI JGN GANGGU.
Dalil-dalil dzikir termasuk dalil dzikir secara jahar (agak keras)
Firman Allah swt. dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita banyak berdzikir sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyak nya, dan bertasbihlah pada-Nya diwaktu pagi maupun petang!”.
Dan firman-Nya:
فَاذْكُرُونِي أذْكُرْكُمْ ...........
“Berdzikirlah (Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ”
(Al--Baqarah :152)

Firman-Nya :
اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنوُبِهِم
“...Yakni orang-orang dzikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”.
(Ali Imran :191)
Firman-Nya :
وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ
مَغْفِرَة وَأجْرًا عَظِيْمٌا.

“Dan terhadap orang-orang yang banyak dzikir pada Allah, baik laki-laki maupun wanita, Allah menyediakan keampunan dan pahala besar”. (Al-Ahzab :35)

Firman-Nya lagi :
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ
ألآ بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ الـقُلُوبُ.

“Yaitu orang-orang yang beriman, dan hati mereka aman tenteram dengan dzikir pada Allah. Ingatlah dengan dzikir pada Allah itu, maka hatipun akan merasa aman dan tenteram”.
(Ar-Ro’d : 28)

Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda : Allah swt.berfirman :

اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اتَقـَرَّبْتُ إلَيْهِ بَاعًـا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِيأتَيْتُهُ هَرْوَلَة.
“Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil tentang bolehnya berdzikir dengan jahar/agak keras’. Imam Suyuthi juga berkata: ‘Dzikir dihadapan orang orang tentulah dzikir dengan jahar, maka hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’

Hadits qudsi dari Mu’az bin Anas secara marfu’: Allah swt.berfirman:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ مِنْ مَلاَئِكَتِي
وَلاَيَذْكُرُنِي فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي.

“Tidaklah seseorang berdzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali Akupun akan berdzikir untuknya dihadapan para malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-orang kecuali Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang tertinggi’ “. (HR. Thabrani).

At-Targib wat-tarhib 3/202 dan Majma’uz Zawaid 10/78. Al Mundziri berkata : ‘Isnad hadits diatas ini baik (hasan). Sama seperti pengambilan dalil yang pertama bahwa berdzikir dihadapan orang-orang maksudnya adalah berdzikir secara jahar ’ !

Hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut:

سَبَقَ المُفَرِّقُونَ, قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)

“Telah majulah orang-orang istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa?’ Ujar Nabi saw. ‘Mereka ialah orang-orang yang berdzikir baik laki-laki maupun wanita’ ”. (HR. Muslim).

Hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary ra sabda Rasul saw.:

‘Perumpamaan orang-orang yang dzikir pada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” (HR.Bukhori).

Dalam riwayat Muslim: “Perumpamaan perbedaan antara rumah yang dipergunakan dzikir kepada Allah didalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikrullah didalamnya, bagaikan perbedaan antara hidup dengan mati”.

Hadits dari Abu Sa’id Khudri dan Abu Hurairah ra. bahwa mereka mendengar sendiri dari Nabi saw. bersabda :

لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمةُ, وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.

“Tidak satu kaumpun yang duduk dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya”. (HR.Muslim, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).

Hadits dari Mu’awiyah :

خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟ قَالُوْا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: اللهُ مَا أجْلَسـَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟ قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَنَا اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ : اَمَا إنِّي لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لـَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي جِبْرِيْلُ فَأخْـبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبـَاهِي بِكُمُ المَلآئِكَةَ.
“Nabi saw. pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya ‘Mengapa kamu duduk disini?’ Ujar mereka : ‘Maksud kami duduk disini adalah untuk dzikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’. Sabda Nabi saw. ‘Demi Allah tak salah sekali ! Kalian duduk hanyalah karena itu. Mereka berkata : Demi Allah kami duduk karena itu. Dan saya, saya tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah swt. telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’ “. (HR.Muslim)

Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :

إذَا مَرَرْتُم بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّة يَا رَسُولُ الله ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ مِنَ المَلآئِكَةَ يَطْلُبُونَ حِلَـقَ الذِّكْرِ فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوبِهِمْ.

“Jika kamu lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkerama! Tanya mereka : Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah? Ujar Nabi saw. : Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.

Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: رَسُولُ الل.صَ. : إنَّ اللهَ مَلآئِكَةً يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلتَمِسُونَ أهْلِ الذّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا قـَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا : هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ, فَيَحُفّـُونَهُمْ بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى السَّمَاءِ فَيَسْألُهُمْ رَبُّـهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ : هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ : لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَ اَشَدَّ لَكَ تَمْجِيْدًا وَاَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُوْلُ : فَمَا يَسْألُنِى ؟ فَيَقوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ : فَمِمَّا يَتَعَوَّذُوْنَ ؟ فَيَقولُوْنَ : مِنَ النَّارِ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُلُوْنَ : لَوْ رَأوْهَا كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ : اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ, فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ : فُلاَنٌ فَلَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هًمْ قَوْمٌ لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ.

“Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemu- kan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru :'Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan'. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka bertanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yan lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman : Darimana kalian semua ? Malaikat berkata : Kami datang dari sekelompok hambaMu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepadaMu. Allah berfirman : Apakah mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Tidak pernah ! Allah berfirman : Seandainya mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Andai mereka pernah melihatMu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepadaMu, lebih bersemangat memujiMu dan lebih banyak bertasbih padaMu. Allah berfirman: Lalu apa yang mereka pinta padaKu ? Malaikat berkata: Mereka minta sorga kepadaMu. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat sorga ? Malaikat berkata : Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya? Malikat berkata: Andai mereka pernah melihanya niscaya mereka akan bertambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman: Dari hal apa mereka minta perlindungan ? Malaikat berkata: Dari api neraka. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya. Allah berfirman: Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka. Salah satu dari malaikat berkata : Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka. Dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah mereka akan diampuni juga ?). Allah berfirman : Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa".
Dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir : 'Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka'.

Empat hadits terakhir ini jelas menunjukkan keutamaan kumpulan majlis dzikir, Allah swt.akan melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridho-Nya pada para hadirin termasuk disini orang yang tidak niat untuk berdzikir serta majlis seperti itulah yang sering dicari dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita selalu kumpul bersama majlis-majlis dzikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut sehingga do’a yang dibaca ditempat majlis dzikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima oleh Allah swt. Juga hadits-hadits tersebut menunjukkan mereka berkumpul berdzikir secara jahar, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !

Al-Baihaqiy meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik ra bahwa Rasul- Allah saw. bersabda:

لاَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْرِ ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّاِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا (رواه البيهاقي)

“Sungguhlah aku berdzikir menyebut (mengingat) Allah swt. bersama jamaah usai sholat Shubuh hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”

Juga dari Anas bin Malik ra riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqiy bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Sungguhlah aku duduk bersama jamaah berdzikir menyebut Allah swt. dari salat ‘ashar hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang budak.’

Riwayat Al Baihaqy dari Abu Sa’id Al Khudrij ra, Rasul saw bersabda :

يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ : اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه البيهاقي)

“Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat kelak akan bersabda: ’Pada hari ini ahlul jam’i akan mengetahui siapa orang ahlul karam (orang yang mulia). Ada yg bertanya: Siapakah orang-orang yg mulia itu? Allah menjawab, Mereka adalah orang-orang peserta majlis-majlis dzikir di masjid-masjid ”.


Ancaman bagi orang yang menghadiri kumpulan tanpa disebut nama Allah
dan Shalawat atas Nabi saw.

Hadits riwayat Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw :

مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن)


“Tiada suatu golonganpun yang duduk menghadiri suatu majlis tapi mereka disana tidak dzikir pada Allah swt. dan tak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat”.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :

وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً

‘Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun artinya kesulitan... “.

Dalam buku Fathul ‘Alam tertera : Hadits tersebut diatas menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.

Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda:

.صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ قَالَ رَسُوْلَ اللهِ
لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً (رواه ابو داود

“Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”. (HR.Abu Daud)

Hadits-hadits diatas mengenai kumpulan atau lingkaran majlis dzikir itu sudah jelas menunjukkan adanya pembacaan dzikir bersama-sama dengan secara jahar, karena berdzikir sendiri-sendiri itu akan dilakukan secara lirih (pelan). Lebih jelasnya mari kita rujuk lagi hadits shohih yang membolehkan dzikir secara jahar.

Hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata :

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ.

“Sabda Rasulallah saw. ‘Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata : Sesungguhnya dia orang gila’ " (HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman , Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)

Hadits dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulallah saw. bersabda :

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ
“Banyak banyaklah kalian berdzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani)

Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’ hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir).”

Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :

ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)

‘Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata : Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau berkata : “Tidak ! Akan tetapi dia itu seorang awwah (yang banyak mengadu kepada Allah)”. (HR.Baihaqi)

Lihat hadits ini Rasul saw. tidak melarang orang yang dimasjid yang sedang berdzikir secara jahar (agak keras). Malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu pada Allah (beriba hati dan menyesali dosanya pada Allah swt.) Sifat menyesali kesalahan pada Allah swt itu adalah sifat yang paling baik !

Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang lelaki yang biasa dipanggil Zul Bijaadain ‘Sesungguhnya dia orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering berdzikir kepada Allah’. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas menunjukkan bahwa Zul- Bijaadain sering berdzikir secara jahar).

Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata : Aku dikabarkan oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata :

اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa Rasulallah saw.’.(HR.Bukhori dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa Ibnu Abbas berkata : ‘Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbir beliau (yakni ketika berdzikir)’. (HR.Bukhori Muslim)

Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”.
Sedangkan hadits-hadits Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Muslim mengenai berdzikir secara jahar selesai sholat sebagai berikut :

Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya: "Dahulu kami mengetahui selesainya sembahyang Rasulullah saw. dengan ucapan beliau "takbir".

Hadits nr. 358 : Dari Ibnu Abbas, katanya "Bahwa dzikr dengan suara lantang/agak keras setelah selesai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw. Kata Ibnu Abbas. Jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang telah bubar sembahyang".

Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya: "Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang sesudah memberi salam:...." Kata Abdullah bin Zubair" Adalah Rasulullah saw. Mengucapkannya dengan suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang"

Ketiga hadits terakhir ini dikutip dari kitab "Terjemahan hadits Shahih Muslim" jilid I, II dan III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.

Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’ hal.25 berkata:

“Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan meng- angkat suara dikala para jemaah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan sentiasa dizaman Rasullullah saw.. Ibnu Abbas berkata "Saya memang mengetahui keadaan selesainya Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir (yang disuarakan dengan nyaring)." (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).

Hadits yang sama dikemukakan juga oleh Imam Abd Wahab Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315 dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.

Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra beliau berkata : ‘Kami tidak mengetahui selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir secara jahar’.

Dan masih banyak lagi dalil mengenai keutamaan kumpulan berdzikir yang belum saya cantumkan disini tapi insya Allah dengan adanya semua hadits diatas cukup jelas bagi kita dan bisa ambil kesimpulan bahwa (kumpulan) berdzikir baik dengan lirih maupun jahar/agak keras itu tidaklah dimakruhkan atau dilarang bahkan didalamnya justru terdapat dalil yang menunjukkan ‘kebolehannya’, atau ‘kesunnahannya’.

Demikian juga dzikir dengan jahar itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk, sesuatu yang tidak akan didapatkan pada dzikir secara lirih (sir). Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir jahar ini adalah ulama mutaakhhirin terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli dalam risalahnya yang berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood mengatakan sebagai berikut : “Jahar dengan dzikir dan tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu di majlis ataupun di masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dan disyari’atkan ber- dasarkan hadits Nabi saw : ‘Barangsiapa berdzikir kepadaKu dihadapan orang orang, maka Akupun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’ dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200) bisa juga dijadikan sebagai dalilnya. “

Agama hanya memakruhkan dzikir jahar yang keterlaluan begitu juga jahar yang tidak keterlaluan bila sampai mengganggu orang yang sedang tidur atau sedang shalat atau menyebabkan dirinya riya’ serta mensyariatkan/mewajibkan dzikir jahar ini. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi karena diwajibkan pelaksanaanya dengan cara-cara tertentu padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia akan berubah menjadi makruh sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad- Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.

Kalau kita baca ayat-ayat al-Quran dan hadits diatas mengenai kumpulan dzikir dan pendapat ulama yang membolehkan dzikir secara jahar dengan berdalil pada hadits-hadits tersebut, bagaimana saudara kita yang tidak senang menghadiri majlis dzikir berani mencela dan mensesatkan majlis pembacaan tahlil/yasinan dan sebagainya yang mana disitu selalu dibacakan firman-firman Ilahi diantaranya; surat Yaasin, surat Al-Fatihah, sholawat pada Nabi saw. juga pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta mendo’akan saudara muslimin baik yang masih hidup atau yang sudah wafat. Bacaan yang dibaca ini semuanya ini berdasarkan hadits Nabi saw. dan mendapat pahala bagi si pembaca dan pendengar serta tidak ada dalil yang melarang/ mengharamkannya ?

Memang ada hadits riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad. : “Sebaik-baik dzikir adalah secara lirih (sir) dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi ”. Menurut ulama’ diantaranya Imam as-Suyuthi, kata-kata Sebaik-baik dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan Yang lebih utama. Jadi hadits terakhir diatas ini bukan menunjukkan kepada jeleknya atau dilarangnya dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada bolehnya dzikir secara jahar.

Mari kita baca lagi perincian berdzikir dengan jahar yang lebih jelas menurut pendapat Imam Suyuthi dan lainnya.

Imam As Suyuthi didalam Natijatul /fikri Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak ? Jawab beliau: Itu tidak ada buruknya (tidak makruh)! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan suara agak keras (jahran) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain tergantung pada keada- an tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.

Dengan merinci manfaat membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahran dan sirran itu Imam Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.

‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi) jawab dari tiga sisi:
1. Ayat diatas ini adalah ayat Makkiyah
( turun di Mekkah sebelum hijrah).
Masa turun ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini :
وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً

‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya……..’ (Al Isra’:110).

Ayat itu (Al A’raf :205) turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahran), kemudian didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah meninggalkan cara jahar guna mencegah terjadinya kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuatan untuk mematahkan permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

2. Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir, menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Quran. Nabi saw menerima perintah jahran membaca Al-Quran sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap Kitabullah tersebut., khususnya diwaktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka hendaklah kalian mendengarkan- nya...’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Quran yang sedang dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.

3. Orang-orang Sufi mengatakan berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh Rasulullah saw. karena manusia yang disempurnakan oleh Allah swt. Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan sempurna sering diikuti was-was, penuh ber- bagai angan-angan perasaan, karena itulah mereka disuruh berdzikir secara agak keras/jahran. Dzikir jahran semua was-was, angan-angan dan perasaan lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir setan-setan jahat.

Pendapat demikian ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengah- kan oleh Al- Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya diucapkan dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan sholat- nya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yg serumah dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir Jin-jin durhaka dan setan-setan jahat’. Demikianlah pendapat Imam Suyuthi.

Pendapat Ibnu Taimiyyah yang dijuluki Syaikhul Islam oleh sebagian ulama mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu 'al fatawa edisi King Khalid ibn 'Abd al-Aziz. Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir, membaca al-Qur’an berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (mustahab) untuk berkumpul dan membaca al-Quran dan berdzikir serta berdo’a....’ "

Jawaban pertanyaan Ibnu Taimiyyah mengenai kelompok-kelompok dzikir dimasjid-masjid yang dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah. Ibnu Hajr mengatakan bahwa pembentukan jamaah-jamaah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab berkumpul untuk berdzikir telah diungkapkan pada hadits Qudsi Shohih: ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu di tengah sejumlah orang, ia pasti Kusebut (amal kebaikannya) di tengah jamaah yang lebih baik’.

Dengan kumpulnya orang bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjukkan dzikir tersebut dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat) dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasul saw ?, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !

Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu sebagaimana katanya: Membaca Al-Quran maupun berdzikir lebih afdhol/utama secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur. Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu kadar amalannya lebih banyak daripada membaca Al-Qur’an atau dzikir secara lirih/sirran.

Selain itu juga membaca Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaatnya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al Quran lebih baik dibaca secara jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca secara sirran. Bila membaca secara sirran akan menjenuhkan bacalah secara jahran dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut :

“Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dari keduanya melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”.

Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang atau mengharamkan dzikir secara jahar apalagi sampai memutuskannya dengan bid’ah !

Mari kita rujuk riwayat hadits bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamah kalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid juga, sebagaimana yang dibaca dalam kumpulan majlis-majlis dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagai- nya).

Hadits nomer 581 riwayat Muslim sabda Rasul saw.: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai ke Rauha’, berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu, jawab Nabi saw. jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.

Hadits nomer 582 riwayat Muslim dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan waswasah, yaitu membisikkan bisikan jahat “.

Lihat hadits dari Mu’adz bin Jabal dan dua hadits diatas bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya, serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka. Walaupun hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Quran pada waktu sholat malam hari serta bacaan adzan dan iqomah, tapi inti/pokok bacaannya ialah sama yaitu pembacaan ayat Al-Quran dan bacaan kalimat-kalimat tauhid secara jahar.

Perbedaannya adalah satu didalam keadaan sholat membacanya yang lain diluar waktu sholat, yang mana kedua-duanya bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan. Juga berdasarkan hadits-hadits yang telah tercantum pada halaman sebelum ini, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa didengar oleh setan-setan tersebut. Maka dari itu Allah swt. sering memperingatkan dalam Al-Qur’an agar kita selalu berdzikir padaNya.

Orang dianjurkan berdzikir setiap waktu dan pada setiap tempat baik dalam keadaan junub atau haid (kecuali baca ayat Al-Qur’an), sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan lain-lain. Itulah yang dimaksud ayat Allah swt.
(An-Nisa:103)
karena dzikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus..
Lain halnya dengan sholat ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub ( harus mandi dulu), sholat sunnah yang tidak ada maksudnya setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haid, nifas atau junub dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.

Masih banyak lagi hadits mengenai kumpulan majlis dzikir yang diamalkan kaum muslimin setelah usai sholat shubuh atau waktu-waktu lainnya. Amalan ini berasal dari sunnah yang benar ! Mereka berdzikir dengan suara yang jahar tapi bila ditempat mereka dzikir terdapat orang yang merasa terganggu umpama orang sedang sholat, atau ada orang tidur maka mereka akan melirihkan suaranya. Sebagian orang senang berdzikir secara agak keras untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang dijadikan tempat dzikir oleh kaum Sufi ini diantaranya masjid Ar Ribath .

Bagi juga bagi yang memilih dzikir secara sirran (lirih, pelan) untuk memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’ (mengharap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang terkenal. Terdapat riwayat Umar bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasul saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas ini. Ternyata Rasul saw membenarkan mereka berdua ini !

Dengan adanya keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpulan ada ulama yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar, tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol.

Aturan (paling baik/tidak wajib) dalam dzikir menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy rh dalam kitabnya Manhajus Shalih mengatakan diantaranya sebagai berikut :

A. Kita selalu dalam keadaan bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis).

B. Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu.

C. Tempat dzikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi.

D. Berdzikir dengan ikhlas karena Allah swt.

Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu, sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa. Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir ialah agar tempat dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi, sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab yang kalau dibakar asapnya berbau wangi, karena disamping bau-bauan ini lebih mengkhusyukkan/ mengkonsentrasikan, menyegarkan pribadi orang itu atau para hadirin, juga menyenangkan malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman yang hadir di majlis dzikir ini. Bau harum ini malah lebih diperlukan bila berada diruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau menyan ini banyak dijual baik di Indonesia, Mekkah, Medinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya adalah Gahru kwaliteit istemewa.

Mari kita baca hadits Nabi saw mengenai wangi- wangian diantaranya:

Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasul saw bersabda: ‘Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR.Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud)

Ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya Ibnu Umar ra.membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata: ‘Beginilah Rasulullah saw. mengasapi dirinya’.”

Begitu juga zaman sekarang di masjid Madinah setiap usai sholat Isya’ terutama pada bulan suci Ramadhan di tempat Raudhah (antara Rumah dan Mimbar Rasul saw.) dan disekitar Mimbar Rasul saw. selalu diasapi kayu gahru. Bagi orang-orang yang pernah hadir di tempat ini pada waktu tertentu itu insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan harum tersebut. Padahal kalau kita lihat negara Saudi Arabia banyak disana golongan wahabi/ salafi yang sering mengeritik dan membuat ceritera atau mengisukan yang tidak-tidak terhadap golongan muslimin yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis dzikir. Diantara golongan wahabi dan pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu sedang berkumpul berdzikir maupun sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain !

Tetapi kalau kita baca hadits Nabi saw. setan malah lari mendengar bacaan dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengadakan majlis dzikir. Lihatlah, karena kedengkian golongan tertentu pada majlis dzikir ini , mereka membuat fitnah dan mengadakan khurafat-khurafat (tahayul) yang dikarang-karang sendiri, agar manusia mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut. Mengapa mereka tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Mekkah dan Medinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?


Dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar

Buat golongan majlis dzikir sudah cukup hadits-hadits dan wejangan ulama-ulama pakar mengenai dibolehkannya dzikir secara jahar seperti yang penulis kutip dibuku ini tetapi bagi golongan pengingkar majlis (kumpulan) dzikir secara jahar selalu mengajukan dalil-dalil yang menurut mereka dalil tersebut sebagai larangan/haramnya orang berkumpul berdzikir secara jahar. Mari kita baca dalil mereka untuk masalah ini :

Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204) : ‘Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk melarang pembacaan Al-Qur’an secara bersama, yang di amalkan orang-orang pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).

Sudah tentu pemikiran seperti ini tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Makna atau yang dimaksud firman Allah swt. itu ialah: Bila ada orang membaca Al-Qur’an sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca ini di anjurkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan Al Qur’an tersebut agar mereka juga mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca Al-Quran dalam kumpulan majlis dzikir ! Karena cukup banyak hadits yang menjanjikan pahala bagi orang yang membaca Al-Quran baik membacanya secara berkelompok maupun perorangan, serta tidak ada nash baik dalam Al-Quran maupun Sunnah yang melarang membaca Al-Quran secara bersama-sama ! Malah justru mendapat pahala bagi yang membacanya !.

Mereka berdalil juga pada firman Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi : ‘Dan ingatlah Tuhanmu didalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore hari’.

Ayat diatas juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Quran yang sedang dibaca oleh orang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat sebelumnya yaitu surat Al-A’raaf : 204.
Dengan demikian, makna surat Al-A’raf : 205 adalah : ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati (wahai orang yang memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an) dengan merendahkan diri serta rasa takut’.

Seperti ini pula makna yang dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya : Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata: Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt. Maka dari itu disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’. (baca keterangan pada halaman sebelum ini)

Menurut Imam Ar-Rozi bahwa ayat Al A’raf : 205 justru menetapkan dzikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena disitu disebut juga ‘...dan bukan dengan jahar yang berlebihan...’ Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna yang demikian sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah swt dalam surat Al-Isro’: 110 yang berbunyi : ‘Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.

Golongan pengingkar ini juga berdalil pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hambal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata :

“Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan, maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeras kan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’“.

Hadits ini tercantum dalam kitab-kitab hadits yang enam. Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan sabda Rasul saw. “Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga...? Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “.
Turmudzi berkata : Ini adalah hadits yang shohih.

Golongan ini berkata: Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir ..?, padahal hadits diatas memerintahkan untuk merendahkan suara diketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasanNya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggang an kita !

Alasan inipun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat dimana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan !

Kalau sekiranya Rasul saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras pada waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan itu sewaktu dalam perjalanan adalah disunnatkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan/diridhoi oleh Rasul saw.. Padahal kesunnatan yang seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. karena pada saat itu sedang dalam perjalanan perang menuju Khaibar dan mengeraskan dzikir seperti itu tidak ada mashlahatnya/ kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang itu adalah satu tipu daya’.

Begitupun juga beliau saw. melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud mengatakan bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak ! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebihan sebagaimana ditunjukkan oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.

Begitu juga bila hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar maka akan berlawanan dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan dzikir secara jahar (silahkan baca keterangan sebelumnya).

Sebelum ini sudah saya kutip sebagian fatwa seorang ulama yang diandalkan oleh golongan ini yaitu Ibnu Taimiyah didalam kitabnya Majmu’at fatawa edisi Raja Saudi Arabi Malik Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai berikut:

“Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir (secara jahar), membaca al-Quran berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun menunjuk-nunjuk tetapi hanyalah karena hendak mendekat- kan diri kepada Allah swt. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab, ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semua- nya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (agama) untuk berkumpul dan membaca al-Quran dan berdzikir serta berdo’a’."

Sebagian golongan ini juga melarang kumpulan majlis dzikir dengan berdalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan demikian mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.

Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang. Dengan demikian nantinya riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt (hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasul saw mengenai keutamaan berdo’a dan halaqat (kumpulan dzikir) ! Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh Allah swt. maupun Rasul saw.. Tidak ada penentuan/ kewajiban dalam syariat tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a boleh dilakukan secara berkumpul ataupun secara individu !

Penafsiran mereka seperti itu adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya. Hati-hatilah!

Juga golongan ini mengatakan ada riwayat dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat Magrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini…. bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ra mendatangi orang ini dan berkata:….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi.”

Riwayat diatas ini dibuat juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu. Kedua umpama bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pemberitahuan sesuai yang dianjurkan oleh Nabi saw. maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasul saw. sendiri meridhoi dan menganjurkan dzikir berkelompok. Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !!

Jadi janganlah kita main pukul rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar karena larangan sebagian sahabat pada kelompok manusia tertentu, tapi kita harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang oleh sahabat. Dengan demikian kita tidak akan kebingungan atau kesulitan untuk mengamalkan hadits Rasul saw. lainnya yang membolehkan untuk berdzikir secara jahar dan berkelompok, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama pakar Imam Nawawi, Ibnu Hajr , Imam Suyuthi serta lain-lainnya dan hadits-hadits yang telah saya kutip dibuku ini.

Berdzikir baik secara jahar maupun lirih kedua-duanya mempunyai dalil dan semuanya mustahab/baik. Begitu juga bila ada sebagian ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan ! Tidak lain hal tersebut tergantung pada pribadi ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk berdzikir tersebut.

Saya tambahkan lagi hadits yang shohih menganjurkan manusia untuk membaca Talbiyah dan Tahlil secara jahar pada waktu musim haji, yang mana Talbiyah dan Tahlil juga termasuk dzikir pada Allah swt. Hadits dari Khalad bin Sa’id Al Anshori dari Bapaknya bahwa Nabi saw bersabda:

“Jibril datang kepadaku lalu menyuruhku untuk memerintahkan kepada sahabatku atau kepada orang-orang yang bersamaku agar mengeraskan suara dengan Talbiyah dan tahlil”.
( Riwayat Abu Dawud nr.1797, Tirmidzi nr.829, Nasa’i dalam bab mengeraskan suara ketika berihram, Ibnu Majah nr.2364, Imam Malik dalam Al Muwattha hadits nr.34). Menurut Imam Syafii Takbir dan Tahlil dalam haji ini boleh diamalkan secara jahar baik dimasjidil Haram atau dilapangan.

Kalau dzikir Talbiyah dan Tahlil secara jahar yang dilakukan oleh berjuta-juta jamaah haji secara berkelompok-kelompok malah dianjurkan dan tidak dilarang, apalagi dzikir secara jahar yang hanya dilakukan oleh kelompok lebih sedikit jumlahnya dari itu, apa salahnya dalam hal ini..?. Wallahu a'lam.

Contoh zaman sekarang yang bisa kita dengar dan beli kaset-kaset al-Qur’an, qosidah-qosidah (bacaan sholawat Nabi saw. dan lain-lain) semuanya termasuk dzikir yang dijual dan dikumandangkan diseluruh dunia Saudi Arabia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Marokko, Mesir dan lain lain baik di negara yang anti maupun yang senang bacaan dzikir secara jahar. Kalau semua ini misalnya mungkar dan dilarang maka akan ditegur atau dikecam oleh ulama-ulama pakar di negara tersebut. Tapi sampai detik ini tetap berjalan dan malah lebih banyak lagi toko-toko yang jual kaset-kaset tersebut karena banyak peminatnya.

Insya Allah dengan beberapa firman Allah swt. serta hadits-hadits diatas kita dapat mengambil manfaatnya dan mengerti serta jelas apa yang dianjurkan oleh Allah swt. melalui perantara junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Dengan demikian insya Allah saudara-saudara kita muslimin yang belum pernah menghadiri atau mendapat kesalahan informasi mengenai kumpulan dzikir, baca tahlil/yasinan dan sebagainya ini akan diberi taufiq oleh Allah swt. serta bisa menghadiri majlis dzikir yang penuh berkah atau setidaknya tidak akan mencela, mensyirikkan dan mensesatkan orang yang mengamalkan ini, tidak lain hanya akan menambah dosa saja.Dengan demikian hubungan silatorrohmi dengan saudara-saudara muslimin lainnya tidak akan terputus.

Tambahan... Dalil Tentang Hadits Dzikir (Termasuk yg Jahar)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling, mereka mengikuti majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemui majelis yang didalamnya ada dzikir, maka mereka duduk bersama-sama orang yang berdzikir, mereka mengelilingi para jamaah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruangan antara mereka dengan langit dunia, jika para jamaah itu selesai maka mereka naik ke langit
(HR Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689)

Abdullah Ibnu Abas r.a berkata: “semasa zaman kehidupan Rosulullah(SAW) adalah menjadi kebiasaan untuk orang ramai berdzikir dengan suara yang kuat selepas berakhirnya sholat berjamaah(HR.Bukhori)
Abdullah Ibnu Abas r.a berkata:”Apabila aku mendengar ucapan dzikir, aku dapat mengetahui bahwa sholat berjamaah telah berakhir
(HR.Bukhori)

Abdullah Ibnu Zubair r.a berkata:”Rasululloh(SAW) apabila melakukan salam daripada solatnya, mengucap doa/zikir berikut dengan suara yang keras-”La ilaha illallah…”(Musnad Syafi’i)
Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan.
(Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 56)


AKHLAK SUFI RASULULLAH SAW


AKHLAK SUFI RASULULLAH SAW.
Bismillahir Rahmanir Rahiim.
Allahumma sholi ala Syyaidina Muhammadinni fatihi lima ughliko wal’khotimi lima sabaqo wanasiril haqo bilhaqqi wal’hadi ila shirotikal mustaqiim wa’sholallahu alaiihi wa’ala alihi washobihi haqqo qodrihi wamiqdarihil aziim.

Syaikh Abu Nashr As-Sarraj Menyambut Maulid Nabi saw.
Syaikkh Abu Nashr as-Sarraj’ Rohimahullah berkata.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau pernah bersabda.
Sesungguhnya Allah telah membina mental (akhlak)ku, kemudiain Dia membinanya dengan sangat baik.
(H.r. al-Askari dari Ali r.a.).

Beliau juga bersabda.
Saya adalah orang yang paling tahu di antara kalian tentang Allah dan yang paling takut kepada-Nya.
(H.r. Bukhari- Muslim)

Rasulullah juga bersabda.
Aku disuruh memilih antara menjadi seorang Nabi yang menjabat raja atau menjadi seorang Nabi yang hamba. Kemudian Jibril a.s. memberiku isyarat agar berendah hati. Lalu aku menjawab pilihan itu: Akan tetapi aku lebih memilih menjadi Nabi yang hamba; Dimana suatu hari aku kenyang dan di hari yang lain aku lapar”.
(H.r. ath Thabrani dari IbnuAbbas, Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Diriwayatkan pula, bahwa beliau bersabda:
Aku ditawari dunia, namun aku menolaknya.
(H.r. Ibnu Abi ad-Dunya, Ahmad dan ath-Thabrani dari Abu Buwaibiyah).

Beliau juga bersabda.
Andaikan aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud niscaya akan aku infakkan demi agama Allah, kecuali sedikit yang aku sisakan untuk menutupi hutang.
(H.r. Bukhari- Muslim dan Ibnu Majah).

Sebagaimana juga diriwayatkan,
Bahwa Rasulullah saw. tidak menyimpan makanan untuk esok hari. Belum pernah sekali menyimpan makanan untuk keluarganya untuk masa satu tahun yang juga beliau persiapkan untuk orang-orang yang datang kepadanya.
(H.r. Bukhari-Muslim dari Umar r.a.).

Juga diriwayatkan.
Bahwa Rasulullah saw. tidak memiliki dua potong baju (gamis), tidak juga makan makanan yang diayak lebih dahulu. Beliau sampai wafat belum pernah sama sekali merasa kenyang dengan roti gandum. Itu dilakukan atas pilihannya sendiri (kondisi normal) dan bukan karena kondisi darurat. Sebab andaikan beliau mau memohon kepada Allah Azza wa Jalla, agar gunung dijadikan-Nya emas dan tidak akan dihisab di hari kiamat, maka Allah akan melakukannya.
(H.r. ath-Thabrani, al-Bazzar dan Bukhari-Muslim).

Dan masih banyak riwayat yang semisal dengan Hadis-hadis di atas. Diriwayatkan bahwa, Rasulullah saw bersabda kepada Bilal, “Berinfaklah wahai Bilal, dan janganlah engkau khawatir Pemilik Arasy mengurangi hartamu.
(H.r. al-Bazzar, ath- Thabrani al-Qadhai dari Ibnu Mas’ud).

Diriwayatkan, bahwa Barirah pernah menyuguhkan makanan di depan Rasulullah saw., kemudian beliau makan sebagiannya. Kemudian pada malam kedua Barirah datang dengan membawa sisa makanan yang pernah disuguhkan kemarin. Rasulullah kemudian bertanya dan menandaskan.
Apakah engkau tidak takut, jika makanan ini nanti mengepulkan asap dihari Kiamat? Jangan sekali- kali engkau menyimpan makanan untuk esok hari, karena Allah Azza wa jalla akan memberikan makanan setiap hari’.
(H.r. al-Bazzar).

Juga diriwayatkan.
Bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mencacat suatu makanan sama sekali, jika berselera maka beliau makan, Jika tidak maka beliau tinggalkan. Dan setiap kali ditawari dua pilihan tentu beliau memilih yang paling sederhana (ringan).
(H.r. Malik, Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).

Nabi saw. bukanlah seorang petani, bukan pula seorang pedagang dan juga bukan seorang pembajak tanah. Dan diantara sikap tawadhu’ (rendah hati) beliau, tercermin pada cara berpakaian dan tindakan tindakan lainnya, dimana beliau mengenakan pakalan dari wool kasar (shiji), memakai sandal yang dijahit dengan benang, mengendarai keledai, memeras susu kambing sendiri, menambal dan menjahit sandalnya sendiri, menambal pakaiannya, beliau tidak merasa malu mengendarai keledai atau dibonceng di belakang.
(Periwayatan Hadis ini dilansir dalam lafal yang beragam oleh beberapa ahli Hadis semisal Ibnu Majah al-Hakim, ath- Thabrani dan lain lain, pent.).

Diriwayatkan bahwa Rasulullah tidak suka dengan cara hidup kaya dan sama sekali tidak takut miskin. Dalam hidup yang ditempuh bersama keluarganya, pernah selama satu dan dua bulan tidak mengepulkan asap dapurnya karena tidak ada bahan untuk memasak roti. Makanan utamanya hanyalah dua: kurma dan air.
(H.r. Bukhari- Muslim dari Aisyah dan Abu Ya’la dari Abu Hurairah).

Diriwayatkan pula, bahwa istri-istrinya disuruh memilih antara dunia dengan Allah dan Rasul-Nya. Mereka kemudian memilih Allah dan Rasul-Nya. Dalam peristiwa ini turun dua ayat dalam surat al- Ahzab: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya aku berikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar’.
”(Q.s. al Ahzab: 28 9).

Nasihat Imam Asy-Syafi'I Rohimalloh :

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا
فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى
وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yg mempelajari ilmu fiqih & juga menjalani tasawwuf, & janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yag hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawwuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan taqwa.
Sedangkan orang yg hanya menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik.
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

sayang bait dari diwan ini telah dihilangkan oleh wahabi dalam kitab diwan syafi'i yg dicetak oleh percetakan wahabi, sungguh jahat para perampok aqidah. Na'udzu Billahi min dzalik.....

Taswwuf menurut 4 madzhab

Imam Abu Hanifah (Pendiri Mazhab Hanafi) berkata : "Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar” (Kitab Durr al Mantsur)

Imam Maliki (Pendiri Mazhab Maliki) berkata “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.
(’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i) berkata,
Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu: Mereka mengajariku bagaimana berbicara, Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati, Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz. 1, hal. 341)

Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri mazhab Hambali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka
(Ghiza al Albab, juz. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

Berikut adalah pendapat para ulama terdahulu yang sholeh tentang tasawwuf.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata :

أصول طريق التصوف خمسة: تقوى الله في السر والعلانية. اتباع السنة في الأقوال والأفعال. الإِعراض عن الخلق في الإِقبال والإِدبار. الرضى عن الله في القليل والكثير.الرجوع إِلى الله في السراء والضراء.

Pokok pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridlo kepada Allah dari pemberianNya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka.

(Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)




Al'Allamah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
إياك أن تنتقد على السادة الصوفية : وينبغي للإنسان حيثُ أمكنه عدم الانتقاد على السادة الصوفية نفعنا الله بمعارفهم، وأفاض علينا بواسطة مَحبتَّنا لهم ما أفاض على خواصِّهم، ونظمنا في سلك أتباعهم، ومَنَّ علينا بسوابغ عوارفهم، أنْ يُسَلِّم لهم أحوالهم ما وجد لهم محملاً صحيحاً يُخْرِجهم عن ارتكاب المحرم، وقد شاهدنا من بالغ في الانتقاد عليهم، مع نوع تصعب فابتلاه الله بالانحطاط عن مرتبته وأزال عنه عوائد لطفه وأسرار حضرته، ثم أذاقه الهوان والذلِّة وردَّه إلى أسفل سافلين وابتلاه بكل علَّة ومحنة، فنعوذ بك اللهم من هذه القواصم المُرْهِقات والبواتر المهلكات، ونسألك أن تنظمنا في سلكهم القوي المتين، وأن تَمنَّ علينا بما مَننتَ عليهم حتى نكون من العارفين والأئمة المجتهدين إنك على كل شيء قدير وبالإجابة جدير.

Berhati hatilah kamu dari menentang para ulama sufi. Dan sebaiknya bagi manusia sebisa mungkin untuk tidak menentang para ulama sufi, semoga Allah member manfaat kepada kita dgn ma’rifat. Ma’rifat mereka dan melimpahkan apa yg Allah limpahkan kepada orang-orang khususnya dgn perantara kecintaan kami pada mereka, menetapkan kita pada jalan pengikut mereka dan mencurahkan kita curahan curahan ilmu ma’rifat mereka.
Hendaknya manusia menyerahkan apa yang mereka lihat dari keadaan para ulama shufi dengan kemungkinan kemungkinan baik yang dapat mengeluarkan mereka dari melakukan perbuatan haram.
Kami sungguh telah menyaksikan orang yang sangat menentang ulama shufi, mereka para penentang itu mendapatkan ujian dari Allah dengan pencabutan derajatnya, dan Allah menghilangkan curahan kelembutanNya dan rahasia rahasia kehadiranNya. Kemudian Allah menimpakan para penentang itu dengan kehinaan dan kerendahan dan mengembalikan mereka pada derajat terendah. Allah telah menguji mereka dengan semua penyakit dan cobaan.
Maka kami berlindung kepadaMu ya Allah dari hantaman hantaman yang kami tidak sanggup menahannya dan dari tuduhan tuduhan yang membinasakan. Dan kami memohon agar Engkau menetapi kami jalan mereka yang kuat, dan Engkau anugerahkan kami apa yang telah Engkau anugerahkan pada mereka sehingga kami menjadi orang yang mengenal Allah dan imam yang mujtahid, sesungguhnya Engkau maha Mampu atas segala sesuatu dan maha layak untuk mengabulkan permohonan.
(Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 113, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami)

Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Ashfihani berkata :
أما بعد أحسن الله توفيقك فقد استعنت بالله عز وجل وأجبتك الى ما ابتغيت من جمع كتاب يتضمن أسامي جماعة وبعض أحاديثهم وكلامهم من أعلام المتحققين من المتصوفة وأئمتهم وترتيب طبقاتهم من النساك من قرن الصحابة والتابعين وتابعيهم ومن بعدهم ممن عرف الأدلة والحقائق وباشر الأحوال والطرائق وساكن الرياض والحدائق وفارق العوارض والعلائق وتبرأ من المتنطعين والمتعمقين ومن أهل الدعاوى من المتسوفين ومن الكسالى والمتثبطين المتشبهين بهم في اللباس والمقال والمخالفين لهم في العقيدة والفعال وذلك لما بلغك من بسط لساننا ولسان أهل الفقه والآثار في كل القطر والأمصار في المنتسبين إليهم من الفسقة الفجار والمباحية والحلولية الكفار وليس ما حل بالكذبة من الوقيعة والإنكار بقادح في منقبة البررة الأخيار وواضع من درجة الصفوة الأبرار بل في إظهار البراءة من الكذابين , والنكير على الخونة الباطلين نزاهة للصادقين ورفعة للمتحققين ولو لم نكشف عن مخازي المبطلين ومساويهم ديانة , للزمنا إبانتها وإشاعتها حمية وصيانة , إذ لأسلافنا في التصوف العلم المنشور والصيت والذكر المشهور

Selanjutnya, semoga Allah memperbagus taufiqmu. Maka sungguh aku telah memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan menjawabmu atas apa yang engkau mau dari pengumpulan kitab yang mengandung nama nama kelompok dan sebagian hadits dan ucapan mereka dari ulama hakikat dari orang orang ahli tasawwuf.
para imam dari mereka.
Penertiban tingkatan mereka dari orang orang ahli ibadah sejak zaman sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dan setelahnya dari orang yang memahami dalil dan hakikat. Menjalankan hal ihwal serta thariqah.
bertempat di taman (ketenangan) dan meninggalkan ketergantungan.
Berlepas dari orang orang yang berlebihan dan orang orang yang mengaku ngaku orang orang yang berandai andai dan dari orang orang yang malas yang menyerupai mereka di dalam pakaian dan ucapan dan bertentangan pada mereka di dalam aqidah dan perbuatan.
Demikian itu ketika sampai padamu dari pemaparan lisan kami dan lisan ulama fiqih dan hadits di setiap daerah dan masa tentang orang orang yang menisabatkan diri pada mereka adalah orang orang fasiq, fajir, suka mudah berkata mubah dan halal lagi kufur. Bukanlah menghalalkan dengan kedustaan, umpatan dan pengingkaran dengan celaan di dalam manaqib orang orang baik pilihan dan perendahan dari derajat orang orang suci lagi baik.
Akan tetapi di dalam menampakkan pelepasan diri dari orang orang pendusta dan pengingkaran atas orang orang pengkhianat, bathil sebagai penyucian bagi orang orang jujur dan keluhuran bagi orang orang ahli hakikat.
Seandainya kami tidak menyingkap kehinaan dan keburukan orang orang yang mengingkari tasawwuf itu sebagai bagian dari agama, maka kami pasti akan menjelaskan dan mengupasnya sebagai penjagaan, karena salaf kami di dalam ilmu tasawwuf memiliki ilmu yang sudah tersebar dan nama yang masyhur.
(Muqoddimah Hilyah Al-Awliya, karya imam Al-Ashfihani)

Imam Ja’far AsShodiq dan Syaikh Sofyan Al-Tsawri
''BERTASAWWUF YANG BENAR"

Pada suatu hari Syaikh Sofyan Al-Tsawri mendatangi Imam Ja’far Al-Shadiq dan di
dapatinya Imam Ja’far dalam pakaian yang indah gemerlap, hingga tampak bagi Al-Tsawri sangat mewah. Ia merasa, Imam yang terkenal sangat salih dan zahid, tidak pantas untuk memakai pakaian seperti itu. Ia berkata, “Busana ini bukanlah pakaianmu!”. Imam Jakfar Al-Shadioq menimpali ucapan Al-Tsawri dengan berkata, “Dengarkan aku dan simak apa yang akan aku katakan padamu. Apa yang akan aku ucapkan ini, baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang, jika kamu ingin mati dalam sunnah dan kebenaran, dan bukan mati di atas bid’ah. Aku beritakan padamu, bahwa Rasulullah saw hidup pada zaman yang sangat miskin. Ketika kemudian zaman berubah dan dunia datang, orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya adalah orang-orang salih, bukan orang-orang yang durhaka; orang-orang mukmin, bukan orang-orang munafik; orang-orang Islamnya bukan orang-orang kafirnya.
Apa yang akan kau ingkari, hai Al- Tsawri?
Demi Allah, walaupun kamu lihat aku dalam keadaan seperti ini sejak pagi hingga sore, jika dalam hartaku ada hak yang harus aku berikan pada tempatnya, pastilah aku sudah memberikannya semata-mata karena Allah.”

Pada saat itu datanglah rombongan orang yang” bergaya sufi”. Mereka mengajak orang banyak untuk mengikuti kehidupan mereka yang sangat sederhana. Mendengar ucapan Imam Ja’far, mereka berkata, “Tampaknya sahabat kami ini tidak mampu membalas pembicaraan Tuan dan tidak dapat menyampaikan hujah.” Imam Ja’far berkata, “Tunjukkan hujah kalian.” Mereka menyahut, “Kami punya hujah dari Kitab Allah.” Kata Imam, “Tunjukkan dalil-dalilnya, karena Kitab Allah lebih wajib untuk diikuti dan diamalkan.ketimbang selainnya” Mereka berkata, “Allah swt mengabarkan sekelompok sahabat Nabi saw: di dalam kitab-Nya; Dan mereka mendahulukan orang-orang lain di atas diri mereka sendiri sekali pun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu; siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
” (QS. Al-Hasyr; 9)
Allah memuji mereka. Kemudian Allah berfirman dalam ayat yang lain; Mereka memberikan makanan yang mereka cintai kepada orang miskin, yatim, dan tawanan. Cukuplah bagi kami semua keterangan ini.”

Di antara yang hadir dalam majelis itu ada seseorang yang segera menukas, “Kami tidak melihat kalian (dengan maksud orang yang “Bergaya sufi” itu) menahan diri untuk tidak makan makanan yang baik. Malahan kalian memerintahkan orang lain untuk mengeluarkan harta mereka supaya kalian bersenang-senang dengan memanfaatkan harta mereka.” Imam berkata pada orang itu.
“Tinggalkan olehmu apa yang tidak bermanfaat bagi kamu.” Setelah itu Imam berkata kepada mereka yang menyampaikan dalil-dalil dari Al- Quran itu, “Hai saudara-saudara, ceritakan kepadaku apakah kalian tahu nâsikh-mansûkh dalam Al-Quran, muhkam dan mutasyâbih-nya? Karena di sinilah umat ini banyak yang tersesat atau binasa.” Mereka menjawab: “Sebagian memang kami ketahui. Tetapi sebagian yang lain tidak.”

Dengan bertanya seperti itu, Imam Ja’far bermaksud untuk mengajarkan mereka untuk berhati-hati menafsirkan Al-Quran, tanpa bantuan ilmu yang memadai. Karena di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang berlaku dalam konteks tertentu tetapi tidak pada konteks yang lain,
(nâsikh-mansûkh). Di dalamnya juga ada yang sangat jelas maknanya dan ada yang sekilas tampak ambigu (muhkam mutasyâbih). Setelah itu, Imam Ja’far berkata:“Apa yang kalian sebut sebagai keterangan dari Al-Quran tentang orang yang mendahulukan orang lain, walaupun diri mereka dan keluarga mereka kepayahan, perbuatan mereka itu hanyalah hal yang diperbolehkan bukan hal yang dilarang. Mereka mendapat pahala di sisi Allah. (Tidak ada perintah untuk melakukan perbuatan seperti itu. Mereka boleh saja melakukan hal demikian). Tetapi Allah setelah itu memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang bertentang dengan apa yang mereka lakukan. Perintah Tuhan itu menjadi nâsikh (menghapuskan) bagi perbuatan mereka. Allah melarang mereka untuk berbuat demikian sebagai ungkapan kasih sayangnya kepada kaum mukmin. Supaya mereka tidak menyengsarakan dirinya dan keluarganya. Mungkin ada di antara mereka anak-anak kecil yang lemah, anak-anak, orang tua renta, orang yang sudah sangat tua yang tidak sanggup lagi menahan lapar. Jika aku menyedekahkan makananku kepada orang lain, padahal padaku tidak ada lagi makanan selain itu, pastilah semua keluargaku ditelantarkan dan binasa dalam keadaan lapar.

Karena itulah Rasulullah saw bersabda: Jika ada lima butir kurma atau lima dinar atau dirham yang dimiliki seseorang, kemudian ia ingin mengekalkan uang itu, maka yang paling utama ialah ia memberikannya kepada kedua orangtuanya, kemudian kepada dirinya dan keluarganya, kemudian kepada kerabat dan saudaranya kaum muslim, kemudian kepada tetangganya yang miskin, dan terakhir pada ranking kelima, ia mensedekahkannya di jalan Allah.

Seorang Anshar memerdekakan lima atau enam orang budak sebelum matinya, padahal ia tidak punya harta lain selain itu. Ia meninggalkan anak-anak kecil. Nabi saw pernah berkata kepada sahabatnya: ‘Sekiranya kalian memberitahukan kepadaku keadaan dia, aku tidak akan membiarkan kalian menguburkannya di pekuburan muslimin. Ia menelantarkan anak-anak kecil dan membiarkan mereka mengemis kepada orang lain.’ Kemudian Imam berkata: ‘Ayahku menyampaikan kepadaku dari Nabi saw bahwa ia bersabda; Mulailah dari tanggunganmu yang paling dekat, kemudian yang paling dekat, dan seterusnya!’

Kemudian, inilah yang difirmankan dalam Al-Quran, yang menolak argumentasi kalian dan diwajibkan kepada kalian oleh Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana; Dan orang-orang yang apabila membelanjakan hartanya, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
” (QS. Al-Furqan; 67).
Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah mengecam orang yang berlebih-lebihan dalam menginfakkan hartanya? Pada ayat lain Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Ia tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”
(QS. Al-An’am; 141, QS. Al-A’raf; 31).
Tuhan melarang mereka berlebihan dan melarang mereka kikir. Yang benar itu ialah yang berada di tengah-tengah. Seseorang tidak boleh memberikan seluruh hartanya, lalu setelah itu, ia berdoa agar Tuhan memberinya rezeki. Doa seperti itu tidak akan dikabulkan.

Rasulullah saw bersabda: Ada beberapa kelompok dari umatku yang doanya tidak akan dikabulkan; Doa seorang anak yang disampaikan untuk mencelakakan orang tuanya, doa seseorang untuk mencelakakan pengutangnya padahal ketika ia membuat transaksi tidak ada saksi, doa seorang lelaki untuk mencelakakan isterinya padahal Allah sudah menyerahkan tanggungjawab memelihara isteri itu di tangannya, dan doa seseorang yang duduk di rumah lalu ia tidak henti-hentinya bermohon: ‘Tuhanku berilah rezeki padaku’; kemudian ia tidak keluar rumah untuk mencari rezeki. Allah swt akan berkata kepadanya: ‘Wahai hamba-Ku, bukankah Aku sudah memberi jalan bagimu untuk mencari rezeki dan berusaha di bumi dengan modal tubuhmu yang sehat? Supaya kamu tidak bergantung pada orang lain. Jika Aku kehendaki, Aku akan memberi rezeki. Jika Aku kehendaki, Aku batasi rezeki kamu. Dan alasanmu Aku terima.’

“Selain itu, doa orang yang tidak akan Aku dengar adalah doa seseorang yang mendapat rezeki yang banyak dari Allah swt. Ia mengeluarkan semuanya kemudian ia kembali sambil berdoa: ‘Ya Rabbi, berilah aku rezeki’. Tuhan berfirman: ‘Bukankah Aku telah memberimu rezeki yang banyak. Kenapa kamu tidak berhemat seperti yang Aku perintahkan? Mengapa kamu berlebih-lebihan seperti yang Aku larang?’ Kemudian terakhir, doa yang tidak akan didengar Tuhan adalah doanya orang yang memutuskan silaturahim.’

“Allah mengajari Nabi-Nya bagaimana cara berinfak. Di suatu hari, pada diri Rasulullah saw ada beberapa uang emas. Ia tidak ingin tidur bersama uang itu. Kemudian ia mensedekahkannya. Pagi hari ada seseorang yang datang meminta bantuan kepadanya. Tapi Rasulullah tidak punya apa pun. Peminta itu kecewa karena Nabi saw tidak membantunya. Rasulullah saw juga berduka cita karena tidak dapat memberinya apa pun, padahal Nabi saw adalah orang yang sangat santun dan penuh kasih. Allah swt lalu mendidik beliau dengan firman-Nya: Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di kudukmu, jangan juga engkau buka selebar-lebarnya, nanti kamu duduk dalam keadaan menyesal dan rugi
(QS. Al-Isra 29).”

Sofyan Al-Tsawri, bisa dibilang, mewakili pandangan sekelompok orang yang meyakini bahwa kesucian harus dicapai dengan mengorbankan segala-galanya, meninggalkan pekerjaan, memberikan seluruh harta, meninggalkan keluarga, mengasingkan diri, dan menjauhkan diri dari dunia. Konon, karena cinta dunia itu sumber segala kejahatan, akhirnya mereka memilih untuk membenci dunia.

Mujahadah dan Riyadhah.gaya Al-Tsawri, tidak bisa dibilang salah, karena memang ada segolongan orang yang karena “ kondisi tertentu harus menjalani model itu”, tetapi tidak dapat diterapkan sepenuhnya kepada semua orang, karena jika demikian, siapakah di antara kita yang harus membayar zakat, melakukan ibadah haji, mengurus orang yang lemah, membiayai pendidikan, melakukan penelitian ilmiah dan sebagainya ?, hanya melihat kehidupan tasawuf model ini, bisa melahirkan pendapat yang keliru dalam memandang tasawwuf dan kehidupan Sufi yang oleh sebagian penentangnya, diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Bisa bisa membuat orang takut belajar tasawwuf dan menjalani kehidupan sufi karena kuatir menjadi miskin.

Imam Ja’far menunjukkan dengan argumentasi yang sangat fasih, bahwa tasawuf sejati tidak demikian. Ia menjelaskan bahwa kemiskinan yang disamakan dengan kesalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis. Tasawwuf sejati bukan tidak memiliki dunia tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan berarti tidak mempunyai apa-apa, tetapi tidak dipunyai apa-apa.
( Laisa Zuhud bian La tamlika Syaian , Innama Zuhud an laa yamlikaka dzalikas syaik), seperti hal ini ditegaskan oleh Imam Abil Hasan Ali Assadzili

Seorang sufi boleh saja, malah mungkin harus, memiliki kekayaan yang banyak; tetapi ia tidak akan melupakan kewajiban diri maupun hartanya, dalam meraih dan mendistribusikannya dan ia tidak meletakkan kebahagiaan pada kekayaannya. Hatinya tidak bergantung pada harta dan kekayaannya melainkan kepada Allah yang memberinya anugrah harta dan kekayaan itu.dan kepadanya sepenuhnya ia bersujud dan menumpahkan puji syukur.