كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Blog ini saya buat sebagai counter attack atas propaganda murahan atas pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran islam oleh sekte-sekte sempalan seperti wahabi syiah dll dan untuk kelestarian aswaja di belahan bumi manapun Terimakasih atas kunjungannya semogga isi dari blog saya ini dapat bermanfaat untuk mempererat ukhwuah islamiyah atar aswaja dan jangan lupa kembali lagi yah

Rabu, 23 Mei 2012

AKHLAK SUFI RASULULLAH SAW


AKHLAK SUFI RASULULLAH SAW.
Bismillahir Rahmanir Rahiim.
Allahumma sholi ala Syyaidina Muhammadinni fatihi lima ughliko wal’khotimi lima sabaqo wanasiril haqo bilhaqqi wal’hadi ila shirotikal mustaqiim wa’sholallahu alaiihi wa’ala alihi washobihi haqqo qodrihi wamiqdarihil aziim.

Syaikh Abu Nashr As-Sarraj Menyambut Maulid Nabi saw.
Syaikkh Abu Nashr as-Sarraj’ Rohimahullah berkata.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau pernah bersabda.
Sesungguhnya Allah telah membina mental (akhlak)ku, kemudiain Dia membinanya dengan sangat baik.
(H.r. al-Askari dari Ali r.a.).

Beliau juga bersabda.
Saya adalah orang yang paling tahu di antara kalian tentang Allah dan yang paling takut kepada-Nya.
(H.r. Bukhari- Muslim)

Rasulullah juga bersabda.
Aku disuruh memilih antara menjadi seorang Nabi yang menjabat raja atau menjadi seorang Nabi yang hamba. Kemudian Jibril a.s. memberiku isyarat agar berendah hati. Lalu aku menjawab pilihan itu: Akan tetapi aku lebih memilih menjadi Nabi yang hamba; Dimana suatu hari aku kenyang dan di hari yang lain aku lapar”.
(H.r. ath Thabrani dari IbnuAbbas, Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Diriwayatkan pula, bahwa beliau bersabda:
Aku ditawari dunia, namun aku menolaknya.
(H.r. Ibnu Abi ad-Dunya, Ahmad dan ath-Thabrani dari Abu Buwaibiyah).

Beliau juga bersabda.
Andaikan aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud niscaya akan aku infakkan demi agama Allah, kecuali sedikit yang aku sisakan untuk menutupi hutang.
(H.r. Bukhari- Muslim dan Ibnu Majah).

Sebagaimana juga diriwayatkan,
Bahwa Rasulullah saw. tidak menyimpan makanan untuk esok hari. Belum pernah sekali menyimpan makanan untuk keluarganya untuk masa satu tahun yang juga beliau persiapkan untuk orang-orang yang datang kepadanya.
(H.r. Bukhari-Muslim dari Umar r.a.).

Juga diriwayatkan.
Bahwa Rasulullah saw. tidak memiliki dua potong baju (gamis), tidak juga makan makanan yang diayak lebih dahulu. Beliau sampai wafat belum pernah sama sekali merasa kenyang dengan roti gandum. Itu dilakukan atas pilihannya sendiri (kondisi normal) dan bukan karena kondisi darurat. Sebab andaikan beliau mau memohon kepada Allah Azza wa Jalla, agar gunung dijadikan-Nya emas dan tidak akan dihisab di hari kiamat, maka Allah akan melakukannya.
(H.r. ath-Thabrani, al-Bazzar dan Bukhari-Muslim).

Dan masih banyak riwayat yang semisal dengan Hadis-hadis di atas. Diriwayatkan bahwa, Rasulullah saw bersabda kepada Bilal, “Berinfaklah wahai Bilal, dan janganlah engkau khawatir Pemilik Arasy mengurangi hartamu.
(H.r. al-Bazzar, ath- Thabrani al-Qadhai dari Ibnu Mas’ud).

Diriwayatkan, bahwa Barirah pernah menyuguhkan makanan di depan Rasulullah saw., kemudian beliau makan sebagiannya. Kemudian pada malam kedua Barirah datang dengan membawa sisa makanan yang pernah disuguhkan kemarin. Rasulullah kemudian bertanya dan menandaskan.
Apakah engkau tidak takut, jika makanan ini nanti mengepulkan asap dihari Kiamat? Jangan sekali- kali engkau menyimpan makanan untuk esok hari, karena Allah Azza wa jalla akan memberikan makanan setiap hari’.
(H.r. al-Bazzar).

Juga diriwayatkan.
Bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mencacat suatu makanan sama sekali, jika berselera maka beliau makan, Jika tidak maka beliau tinggalkan. Dan setiap kali ditawari dua pilihan tentu beliau memilih yang paling sederhana (ringan).
(H.r. Malik, Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).

Nabi saw. bukanlah seorang petani, bukan pula seorang pedagang dan juga bukan seorang pembajak tanah. Dan diantara sikap tawadhu’ (rendah hati) beliau, tercermin pada cara berpakaian dan tindakan tindakan lainnya, dimana beliau mengenakan pakalan dari wool kasar (shiji), memakai sandal yang dijahit dengan benang, mengendarai keledai, memeras susu kambing sendiri, menambal dan menjahit sandalnya sendiri, menambal pakaiannya, beliau tidak merasa malu mengendarai keledai atau dibonceng di belakang.
(Periwayatan Hadis ini dilansir dalam lafal yang beragam oleh beberapa ahli Hadis semisal Ibnu Majah al-Hakim, ath- Thabrani dan lain lain, pent.).

Diriwayatkan bahwa Rasulullah tidak suka dengan cara hidup kaya dan sama sekali tidak takut miskin. Dalam hidup yang ditempuh bersama keluarganya, pernah selama satu dan dua bulan tidak mengepulkan asap dapurnya karena tidak ada bahan untuk memasak roti. Makanan utamanya hanyalah dua: kurma dan air.
(H.r. Bukhari- Muslim dari Aisyah dan Abu Ya’la dari Abu Hurairah).

Diriwayatkan pula, bahwa istri-istrinya disuruh memilih antara dunia dengan Allah dan Rasul-Nya. Mereka kemudian memilih Allah dan Rasul-Nya. Dalam peristiwa ini turun dua ayat dalam surat al- Ahzab: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya aku berikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar’.
”(Q.s. al Ahzab: 28 9).

Nasihat Imam Asy-Syafi'I Rohimalloh :

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا
فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى
وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yg mempelajari ilmu fiqih & juga menjalani tasawwuf, & janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yag hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawwuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan taqwa.
Sedangkan orang yg hanya menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik.
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

sayang bait dari diwan ini telah dihilangkan oleh wahabi dalam kitab diwan syafi'i yg dicetak oleh percetakan wahabi, sungguh jahat para perampok aqidah. Na'udzu Billahi min dzalik.....

Taswwuf menurut 4 madzhab

Imam Abu Hanifah (Pendiri Mazhab Hanafi) berkata : "Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar” (Kitab Durr al Mantsur)

Imam Maliki (Pendiri Mazhab Maliki) berkata “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.
(’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i) berkata,
Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu: Mereka mengajariku bagaimana berbicara, Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati, Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz. 1, hal. 341)

Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri mazhab Hambali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka
(Ghiza al Albab, juz. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

Berikut adalah pendapat para ulama terdahulu yang sholeh tentang tasawwuf.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata :

أصول طريق التصوف خمسة: تقوى الله في السر والعلانية. اتباع السنة في الأقوال والأفعال. الإِعراض عن الخلق في الإِقبال والإِدبار. الرضى عن الله في القليل والكثير.الرجوع إِلى الله في السراء والضراء.

Pokok pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridlo kepada Allah dari pemberianNya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka.

(Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)




Al'Allamah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
إياك أن تنتقد على السادة الصوفية : وينبغي للإنسان حيثُ أمكنه عدم الانتقاد على السادة الصوفية نفعنا الله بمعارفهم، وأفاض علينا بواسطة مَحبتَّنا لهم ما أفاض على خواصِّهم، ونظمنا في سلك أتباعهم، ومَنَّ علينا بسوابغ عوارفهم، أنْ يُسَلِّم لهم أحوالهم ما وجد لهم محملاً صحيحاً يُخْرِجهم عن ارتكاب المحرم، وقد شاهدنا من بالغ في الانتقاد عليهم، مع نوع تصعب فابتلاه الله بالانحطاط عن مرتبته وأزال عنه عوائد لطفه وأسرار حضرته، ثم أذاقه الهوان والذلِّة وردَّه إلى أسفل سافلين وابتلاه بكل علَّة ومحنة، فنعوذ بك اللهم من هذه القواصم المُرْهِقات والبواتر المهلكات، ونسألك أن تنظمنا في سلكهم القوي المتين، وأن تَمنَّ علينا بما مَننتَ عليهم حتى نكون من العارفين والأئمة المجتهدين إنك على كل شيء قدير وبالإجابة جدير.

Berhati hatilah kamu dari menentang para ulama sufi. Dan sebaiknya bagi manusia sebisa mungkin untuk tidak menentang para ulama sufi, semoga Allah member manfaat kepada kita dgn ma’rifat. Ma’rifat mereka dan melimpahkan apa yg Allah limpahkan kepada orang-orang khususnya dgn perantara kecintaan kami pada mereka, menetapkan kita pada jalan pengikut mereka dan mencurahkan kita curahan curahan ilmu ma’rifat mereka.
Hendaknya manusia menyerahkan apa yang mereka lihat dari keadaan para ulama shufi dengan kemungkinan kemungkinan baik yang dapat mengeluarkan mereka dari melakukan perbuatan haram.
Kami sungguh telah menyaksikan orang yang sangat menentang ulama shufi, mereka para penentang itu mendapatkan ujian dari Allah dengan pencabutan derajatnya, dan Allah menghilangkan curahan kelembutanNya dan rahasia rahasia kehadiranNya. Kemudian Allah menimpakan para penentang itu dengan kehinaan dan kerendahan dan mengembalikan mereka pada derajat terendah. Allah telah menguji mereka dengan semua penyakit dan cobaan.
Maka kami berlindung kepadaMu ya Allah dari hantaman hantaman yang kami tidak sanggup menahannya dan dari tuduhan tuduhan yang membinasakan. Dan kami memohon agar Engkau menetapi kami jalan mereka yang kuat, dan Engkau anugerahkan kami apa yang telah Engkau anugerahkan pada mereka sehingga kami menjadi orang yang mengenal Allah dan imam yang mujtahid, sesungguhnya Engkau maha Mampu atas segala sesuatu dan maha layak untuk mengabulkan permohonan.
(Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 113, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami)

Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Ashfihani berkata :
أما بعد أحسن الله توفيقك فقد استعنت بالله عز وجل وأجبتك الى ما ابتغيت من جمع كتاب يتضمن أسامي جماعة وبعض أحاديثهم وكلامهم من أعلام المتحققين من المتصوفة وأئمتهم وترتيب طبقاتهم من النساك من قرن الصحابة والتابعين وتابعيهم ومن بعدهم ممن عرف الأدلة والحقائق وباشر الأحوال والطرائق وساكن الرياض والحدائق وفارق العوارض والعلائق وتبرأ من المتنطعين والمتعمقين ومن أهل الدعاوى من المتسوفين ومن الكسالى والمتثبطين المتشبهين بهم في اللباس والمقال والمخالفين لهم في العقيدة والفعال وذلك لما بلغك من بسط لساننا ولسان أهل الفقه والآثار في كل القطر والأمصار في المنتسبين إليهم من الفسقة الفجار والمباحية والحلولية الكفار وليس ما حل بالكذبة من الوقيعة والإنكار بقادح في منقبة البررة الأخيار وواضع من درجة الصفوة الأبرار بل في إظهار البراءة من الكذابين , والنكير على الخونة الباطلين نزاهة للصادقين ورفعة للمتحققين ولو لم نكشف عن مخازي المبطلين ومساويهم ديانة , للزمنا إبانتها وإشاعتها حمية وصيانة , إذ لأسلافنا في التصوف العلم المنشور والصيت والذكر المشهور

Selanjutnya, semoga Allah memperbagus taufiqmu. Maka sungguh aku telah memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan menjawabmu atas apa yang engkau mau dari pengumpulan kitab yang mengandung nama nama kelompok dan sebagian hadits dan ucapan mereka dari ulama hakikat dari orang orang ahli tasawwuf.
para imam dari mereka.
Penertiban tingkatan mereka dari orang orang ahli ibadah sejak zaman sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dan setelahnya dari orang yang memahami dalil dan hakikat. Menjalankan hal ihwal serta thariqah.
bertempat di taman (ketenangan) dan meninggalkan ketergantungan.
Berlepas dari orang orang yang berlebihan dan orang orang yang mengaku ngaku orang orang yang berandai andai dan dari orang orang yang malas yang menyerupai mereka di dalam pakaian dan ucapan dan bertentangan pada mereka di dalam aqidah dan perbuatan.
Demikian itu ketika sampai padamu dari pemaparan lisan kami dan lisan ulama fiqih dan hadits di setiap daerah dan masa tentang orang orang yang menisabatkan diri pada mereka adalah orang orang fasiq, fajir, suka mudah berkata mubah dan halal lagi kufur. Bukanlah menghalalkan dengan kedustaan, umpatan dan pengingkaran dengan celaan di dalam manaqib orang orang baik pilihan dan perendahan dari derajat orang orang suci lagi baik.
Akan tetapi di dalam menampakkan pelepasan diri dari orang orang pendusta dan pengingkaran atas orang orang pengkhianat, bathil sebagai penyucian bagi orang orang jujur dan keluhuran bagi orang orang ahli hakikat.
Seandainya kami tidak menyingkap kehinaan dan keburukan orang orang yang mengingkari tasawwuf itu sebagai bagian dari agama, maka kami pasti akan menjelaskan dan mengupasnya sebagai penjagaan, karena salaf kami di dalam ilmu tasawwuf memiliki ilmu yang sudah tersebar dan nama yang masyhur.
(Muqoddimah Hilyah Al-Awliya, karya imam Al-Ashfihani)

Imam Ja’far AsShodiq dan Syaikh Sofyan Al-Tsawri
''BERTASAWWUF YANG BENAR"

Pada suatu hari Syaikh Sofyan Al-Tsawri mendatangi Imam Ja’far Al-Shadiq dan di
dapatinya Imam Ja’far dalam pakaian yang indah gemerlap, hingga tampak bagi Al-Tsawri sangat mewah. Ia merasa, Imam yang terkenal sangat salih dan zahid, tidak pantas untuk memakai pakaian seperti itu. Ia berkata, “Busana ini bukanlah pakaianmu!”. Imam Jakfar Al-Shadioq menimpali ucapan Al-Tsawri dengan berkata, “Dengarkan aku dan simak apa yang akan aku katakan padamu. Apa yang akan aku ucapkan ini, baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang, jika kamu ingin mati dalam sunnah dan kebenaran, dan bukan mati di atas bid’ah. Aku beritakan padamu, bahwa Rasulullah saw hidup pada zaman yang sangat miskin. Ketika kemudian zaman berubah dan dunia datang, orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya adalah orang-orang salih, bukan orang-orang yang durhaka; orang-orang mukmin, bukan orang-orang munafik; orang-orang Islamnya bukan orang-orang kafirnya.
Apa yang akan kau ingkari, hai Al- Tsawri?
Demi Allah, walaupun kamu lihat aku dalam keadaan seperti ini sejak pagi hingga sore, jika dalam hartaku ada hak yang harus aku berikan pada tempatnya, pastilah aku sudah memberikannya semata-mata karena Allah.”

Pada saat itu datanglah rombongan orang yang” bergaya sufi”. Mereka mengajak orang banyak untuk mengikuti kehidupan mereka yang sangat sederhana. Mendengar ucapan Imam Ja’far, mereka berkata, “Tampaknya sahabat kami ini tidak mampu membalas pembicaraan Tuan dan tidak dapat menyampaikan hujah.” Imam Ja’far berkata, “Tunjukkan hujah kalian.” Mereka menyahut, “Kami punya hujah dari Kitab Allah.” Kata Imam, “Tunjukkan dalil-dalilnya, karena Kitab Allah lebih wajib untuk diikuti dan diamalkan.ketimbang selainnya” Mereka berkata, “Allah swt mengabarkan sekelompok sahabat Nabi saw: di dalam kitab-Nya; Dan mereka mendahulukan orang-orang lain di atas diri mereka sendiri sekali pun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu; siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
” (QS. Al-Hasyr; 9)
Allah memuji mereka. Kemudian Allah berfirman dalam ayat yang lain; Mereka memberikan makanan yang mereka cintai kepada orang miskin, yatim, dan tawanan. Cukuplah bagi kami semua keterangan ini.”

Di antara yang hadir dalam majelis itu ada seseorang yang segera menukas, “Kami tidak melihat kalian (dengan maksud orang yang “Bergaya sufi” itu) menahan diri untuk tidak makan makanan yang baik. Malahan kalian memerintahkan orang lain untuk mengeluarkan harta mereka supaya kalian bersenang-senang dengan memanfaatkan harta mereka.” Imam berkata pada orang itu.
“Tinggalkan olehmu apa yang tidak bermanfaat bagi kamu.” Setelah itu Imam berkata kepada mereka yang menyampaikan dalil-dalil dari Al- Quran itu, “Hai saudara-saudara, ceritakan kepadaku apakah kalian tahu nâsikh-mansûkh dalam Al-Quran, muhkam dan mutasyâbih-nya? Karena di sinilah umat ini banyak yang tersesat atau binasa.” Mereka menjawab: “Sebagian memang kami ketahui. Tetapi sebagian yang lain tidak.”

Dengan bertanya seperti itu, Imam Ja’far bermaksud untuk mengajarkan mereka untuk berhati-hati menafsirkan Al-Quran, tanpa bantuan ilmu yang memadai. Karena di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang berlaku dalam konteks tertentu tetapi tidak pada konteks yang lain,
(nâsikh-mansûkh). Di dalamnya juga ada yang sangat jelas maknanya dan ada yang sekilas tampak ambigu (muhkam mutasyâbih). Setelah itu, Imam Ja’far berkata:“Apa yang kalian sebut sebagai keterangan dari Al-Quran tentang orang yang mendahulukan orang lain, walaupun diri mereka dan keluarga mereka kepayahan, perbuatan mereka itu hanyalah hal yang diperbolehkan bukan hal yang dilarang. Mereka mendapat pahala di sisi Allah. (Tidak ada perintah untuk melakukan perbuatan seperti itu. Mereka boleh saja melakukan hal demikian). Tetapi Allah setelah itu memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang bertentang dengan apa yang mereka lakukan. Perintah Tuhan itu menjadi nâsikh (menghapuskan) bagi perbuatan mereka. Allah melarang mereka untuk berbuat demikian sebagai ungkapan kasih sayangnya kepada kaum mukmin. Supaya mereka tidak menyengsarakan dirinya dan keluarganya. Mungkin ada di antara mereka anak-anak kecil yang lemah, anak-anak, orang tua renta, orang yang sudah sangat tua yang tidak sanggup lagi menahan lapar. Jika aku menyedekahkan makananku kepada orang lain, padahal padaku tidak ada lagi makanan selain itu, pastilah semua keluargaku ditelantarkan dan binasa dalam keadaan lapar.

Karena itulah Rasulullah saw bersabda: Jika ada lima butir kurma atau lima dinar atau dirham yang dimiliki seseorang, kemudian ia ingin mengekalkan uang itu, maka yang paling utama ialah ia memberikannya kepada kedua orangtuanya, kemudian kepada dirinya dan keluarganya, kemudian kepada kerabat dan saudaranya kaum muslim, kemudian kepada tetangganya yang miskin, dan terakhir pada ranking kelima, ia mensedekahkannya di jalan Allah.

Seorang Anshar memerdekakan lima atau enam orang budak sebelum matinya, padahal ia tidak punya harta lain selain itu. Ia meninggalkan anak-anak kecil. Nabi saw pernah berkata kepada sahabatnya: ‘Sekiranya kalian memberitahukan kepadaku keadaan dia, aku tidak akan membiarkan kalian menguburkannya di pekuburan muslimin. Ia menelantarkan anak-anak kecil dan membiarkan mereka mengemis kepada orang lain.’ Kemudian Imam berkata: ‘Ayahku menyampaikan kepadaku dari Nabi saw bahwa ia bersabda; Mulailah dari tanggunganmu yang paling dekat, kemudian yang paling dekat, dan seterusnya!’

Kemudian, inilah yang difirmankan dalam Al-Quran, yang menolak argumentasi kalian dan diwajibkan kepada kalian oleh Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana; Dan orang-orang yang apabila membelanjakan hartanya, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
” (QS. Al-Furqan; 67).
Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah mengecam orang yang berlebih-lebihan dalam menginfakkan hartanya? Pada ayat lain Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Ia tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”
(QS. Al-An’am; 141, QS. Al-A’raf; 31).
Tuhan melarang mereka berlebihan dan melarang mereka kikir. Yang benar itu ialah yang berada di tengah-tengah. Seseorang tidak boleh memberikan seluruh hartanya, lalu setelah itu, ia berdoa agar Tuhan memberinya rezeki. Doa seperti itu tidak akan dikabulkan.

Rasulullah saw bersabda: Ada beberapa kelompok dari umatku yang doanya tidak akan dikabulkan; Doa seorang anak yang disampaikan untuk mencelakakan orang tuanya, doa seseorang untuk mencelakakan pengutangnya padahal ketika ia membuat transaksi tidak ada saksi, doa seorang lelaki untuk mencelakakan isterinya padahal Allah sudah menyerahkan tanggungjawab memelihara isteri itu di tangannya, dan doa seseorang yang duduk di rumah lalu ia tidak henti-hentinya bermohon: ‘Tuhanku berilah rezeki padaku’; kemudian ia tidak keluar rumah untuk mencari rezeki. Allah swt akan berkata kepadanya: ‘Wahai hamba-Ku, bukankah Aku sudah memberi jalan bagimu untuk mencari rezeki dan berusaha di bumi dengan modal tubuhmu yang sehat? Supaya kamu tidak bergantung pada orang lain. Jika Aku kehendaki, Aku akan memberi rezeki. Jika Aku kehendaki, Aku batasi rezeki kamu. Dan alasanmu Aku terima.’

“Selain itu, doa orang yang tidak akan Aku dengar adalah doa seseorang yang mendapat rezeki yang banyak dari Allah swt. Ia mengeluarkan semuanya kemudian ia kembali sambil berdoa: ‘Ya Rabbi, berilah aku rezeki’. Tuhan berfirman: ‘Bukankah Aku telah memberimu rezeki yang banyak. Kenapa kamu tidak berhemat seperti yang Aku perintahkan? Mengapa kamu berlebih-lebihan seperti yang Aku larang?’ Kemudian terakhir, doa yang tidak akan didengar Tuhan adalah doanya orang yang memutuskan silaturahim.’

“Allah mengajari Nabi-Nya bagaimana cara berinfak. Di suatu hari, pada diri Rasulullah saw ada beberapa uang emas. Ia tidak ingin tidur bersama uang itu. Kemudian ia mensedekahkannya. Pagi hari ada seseorang yang datang meminta bantuan kepadanya. Tapi Rasulullah tidak punya apa pun. Peminta itu kecewa karena Nabi saw tidak membantunya. Rasulullah saw juga berduka cita karena tidak dapat memberinya apa pun, padahal Nabi saw adalah orang yang sangat santun dan penuh kasih. Allah swt lalu mendidik beliau dengan firman-Nya: Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di kudukmu, jangan juga engkau buka selebar-lebarnya, nanti kamu duduk dalam keadaan menyesal dan rugi
(QS. Al-Isra 29).”

Sofyan Al-Tsawri, bisa dibilang, mewakili pandangan sekelompok orang yang meyakini bahwa kesucian harus dicapai dengan mengorbankan segala-galanya, meninggalkan pekerjaan, memberikan seluruh harta, meninggalkan keluarga, mengasingkan diri, dan menjauhkan diri dari dunia. Konon, karena cinta dunia itu sumber segala kejahatan, akhirnya mereka memilih untuk membenci dunia.

Mujahadah dan Riyadhah.gaya Al-Tsawri, tidak bisa dibilang salah, karena memang ada segolongan orang yang karena “ kondisi tertentu harus menjalani model itu”, tetapi tidak dapat diterapkan sepenuhnya kepada semua orang, karena jika demikian, siapakah di antara kita yang harus membayar zakat, melakukan ibadah haji, mengurus orang yang lemah, membiayai pendidikan, melakukan penelitian ilmiah dan sebagainya ?, hanya melihat kehidupan tasawuf model ini, bisa melahirkan pendapat yang keliru dalam memandang tasawwuf dan kehidupan Sufi yang oleh sebagian penentangnya, diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Bisa bisa membuat orang takut belajar tasawwuf dan menjalani kehidupan sufi karena kuatir menjadi miskin.

Imam Ja’far menunjukkan dengan argumentasi yang sangat fasih, bahwa tasawuf sejati tidak demikian. Ia menjelaskan bahwa kemiskinan yang disamakan dengan kesalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis. Tasawwuf sejati bukan tidak memiliki dunia tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan berarti tidak mempunyai apa-apa, tetapi tidak dipunyai apa-apa.
( Laisa Zuhud bian La tamlika Syaian , Innama Zuhud an laa yamlikaka dzalikas syaik), seperti hal ini ditegaskan oleh Imam Abil Hasan Ali Assadzili

Seorang sufi boleh saja, malah mungkin harus, memiliki kekayaan yang banyak; tetapi ia tidak akan melupakan kewajiban diri maupun hartanya, dalam meraih dan mendistribusikannya dan ia tidak meletakkan kebahagiaan pada kekayaannya. Hatinya tidak bergantung pada harta dan kekayaannya melainkan kepada Allah yang memberinya anugrah harta dan kekayaan itu.dan kepadanya sepenuhnya ia bersujud dan menumpahkan puji syukur.


0 komentar:

Posting Komentar